Rabu, 09 Maret 2016

Boyolali pada Tahun 1815 hingga 1915

Kota Lama Sebagai Simbol Kolonialisme
Napak Tilas Kota Lama Boyolali


Kota Boyolali Selayang Pandang.

Kota Boyolali, merupakan salah satu bagian dari wilayah Karesidenan Surakarta yang resmi berdiri pada tahun 1815 denga nama pertama kali Pos Tundan. Jauh sebelum tahun 1815, nama Boyolai sudah tertuangkan pada Babad Sala dan Babad Kartasura, dimana asal mula nama Boyolali muncul dari potongan percakapan antara Kyai Ageng Pandanaran selaku Bupati pertama Semarang dengan istrinya, selama melakukan perjalanan dari Semarang menuju Gunung Jabalkat di daerah Tembaya Klaten untuk mendapatan wahyu dari Sang Maha Pencipta, yang saat ini merupakan areal pemakaman Kyai Ageng Pandanaran, Nyai dan pengikut dari berbagai daerah. Dicuplik dari percakapan yang berbunyi “Boya Wis Lali, Kyai Teko Ninggal Aku” , yang diucapkan oleh Nyai Pandanaran ketika berada diatas sebuah batu besar di bawah Jalan Pandanaran saat ini, inilah asal mula nama Boyolali disematkan. Menurut sejarah, Nyai Ageng Panadanaran mengucapkan kalimat tersebut ketika istirahat, karena baru saja dirampok oleh pemuda yang tengah mabuk ketika berada di Salatiga dan ditinggal oleh Kyai Ageng Pandanaran. Hingga saat ini ketika tanggal 5 Juni,setiap tahun diadakan napak tilas nama Boyolali yang dilaksanakan oleh yang dituakan masyarakat Boyolali, tepat berada di atas batu yang berada di sungai Jalan Pandanaran atau jalur utama Semarang Solo.

Pos Tundan, Kabupaten Pangreh Praja Hingga Kabupaten Gunung Pulisi

Tahun 1847 ketika pemerintah kolonial berada di Keraton Surakarta Hadiningrat, nama Pos Tundan mulai digunakan pada masa pemerintahan Keraton Surakarta Hadiningrat dibawah kontrol pemerintah kolonial Belanda. Kota Boyolali yang notabenya masih belum memiliki pemerintahan sendiri, membuat Pos Tundan dirasa sesuai dengan letak geografisnya. Faktor lokasi yang strategis, membuat Kota Boyolali yang berada pada jalur utama Semarang Solo mendapat julukan Pos Tundan, hal ini membuat pemerintah kolonial Belanda mulai mendirikan beberapa fasilitas layaknya sebuah kota kolonial dengan beberapa pendukung lainya. Pos Tundan pada awalnya digunakan sebagai pos pengamatan pengiriman hasil bumi dan tenaga kerja dari pelabuhan atau daerah di Semarang menuju ke daerah Karesidenan Surakarta, didasarkan kepada lokasi yang strategis tersebut, membuat Boyolali layak digunakan sebagai pos tundan. Seiring berjalanya waktu Boyolali mengalami perubahan dari sebagai Pos Tundan menjadi Kabupaten Gunung Pulisi.

(Peta Kota Lama Boyolali tahun 1935. Sumber: kitlv.nl)

Napak Tilas Kejayaan Kota Lama Boyolali

Kota Lama Boyolali berada di poros utama Jalan Semarang Solo, mulai dari perempatan toko besi “seiko” kearah barat hingga terminal bus Boyolali. Adapun bangunan-bangunan yang masih tersisa hingga saat ini, yakni yakni Benteng Renovatum yang dirubah menjadi taman Sono Kridanggo dan berhadapan dengan gedung Societeit yang berubah fungsi menjadi gedung perpustakaan daerah, Tangsi Tentara yang beridiri tahun 1914 dan 1913, Kepatihan berubah menjadi gedung bank Guna Daya berdiri tahun 1969, Boyolali Theater, Sono Sudoro Theater, Villa Merapi, Kantor Pengadilan Agama, Kantor Polsek Boyolali, Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten, Loji-loji, Kantor Kawedanan/Asisten Wedana berubah menjadi Rumah Sakit Natalia, Kantor Distrik dan terakhir adalah Rumah Sakit pertama di Boyolali berdiri tahun 1910 dan saat ini dipergunakan sebagai kantor asuransi Bringin Life. Disisi lain, dengan adanya etnis Tionghoa di Boyolali membuat pemerintah Kota Boyolali memberikan fasilitas untuk etnis Tionghoa yang mayoritas pedagang, fasilitas tersebut yakni “Mementomori” atau Kuburan Cina, dan pasar kota Boyolali. Di Boyolali terdapat 3 lokasi kuburan Cina, akan tetapi hanya menyisakan satu lokasi yang saat ini beralih fungsi menjadi perkampungan warga.  

Eks Benteng Renovatum

(Foto, dokumentasi pribadi)
Eks Societeit Bojolalie

(Foto Dokumentasi Pribadi)
Eks Tangsi Tentara
1.      1913
2.      1914
(Foto, dokumentasi pribadi)

Eks Rumah Sakit (Sekarang Bringin Life)

(Foto dokumentasi pribadi)
Mess Bhayangkari

Eks Rumah Distrik
(Foto Dokumentasi Pribadi)

Selain bangunan-bangunan pemerintahan dan fasilitas penunjang lainya, disekitaran Kota Lama Boyolali yang menjadi pusat kegiatan masyarakat ini terdapat bangunan-bangunan lain yang mendukung kegiatan perekonomian, sosial dan kebudayaan masyarakat kolonial pada waktu itu. Adapun peninggalan-peninggalan lain yang mendukung tersebut, yakni Oemah Leo, Tempat tinggal bagi orang-orang belanda seperti rumah Loji yang diperuntukan bagi pekerja di pemerintahan dan beberapa fasilitas yang disediakan terutama untuk kepentingan kolonial. Disisi lain, di Boyolali juga terdapat Pesanggrahan Pratjimoharjo yang terletak di Desa Paras, Kecamatan Cepogo ini didirikan oleh SISKS Pakubuwana VI hingga X untuk tempat istirahat Sinuhun beserta permaisuri dan anaknya setelah melakukan lawatan ke daerah lain. Pesanggrahan ini sempat akan digunakan oleh Belanda sebagai pos pengintaian terhadap Keraton Surakarta karena lokasinya yang cukup strategis, yakni di kaki gunung Merapi. Akan tetapi, niatan tersebut gagal setelah gerilyawan Cepogo membumi hanguskan tempat tersebut sekitar tahun 1949.

 
                         (Foto Lokasi Cagar Budaya sekitar Simpang Lima Boyolali)
Perihal pendidikan, Belanda juga mendirikan sarana pendidikan di Boyolali dengan nama Sekolah Rakyat yang sekarang berganti menjadi SDN 1 Boyolali dikhususkan untuk masyarakat kelas menengah kebawah seperti halnya pribumi dan anak dari para “Jongos” yang bekerja di seputaran Kota Lama Boyolali. Lokasi SDN 1 Boyolali berada di seputaran komplek Kota Lama Boyolali, ada tiga sarana pendidikan di Boyolali yakni Sekolah Rakyat/ SDN 1 Boyolali, SDN 7 Boyolali dan SMA N 3 Boyolali akan tetapi SMA ini berdiri setelah Belanda mulai hengkang dari Boyolali sekitar tahun 1950.

Simpulan

         Hingga saat ini kawasan Kota Lama Boyolali, masih didominasi oleh bangunan cagar budaya yang dapat ditunjukan kepada anak cucu berikutnya sekaligus dapat digunakan sebagai pelajaran tentang masa lalu Kota Boyolali dari jaman kerajaan hingga kolonialisme. Selain itu, apabila terdapat sebuah atau kawasan bangunan cagar budaya di suatu daerah bangunan tersebut dapat dipergunakan sebagai icon suatu daerah, kabupaten / kota. Perkembangan Kota Boyolali di tahun 2012 hingga tahun 2015 dapat dikatakan cukup pesat seiring perkembangan jaman. Pembangunan simpang lima Kota Boyolali khususnya, berada di kawasan cagar budaya yakni di pusat Kota Lama Boyolali. Akan tetapi, dengan perhitungan dan penelitian lebih lanjut alhasil kawasan cagar budaya tempat dimana simpang lima berdiri aman dan hingga saat ini dapat disaksikan kejayaan Kota Boyolali dari kota kecil menjadi kota kolonial besar dengan sarana dan prasarana yang cukup lengkap.












Referensi

Peta Kota Boyolali tahun 1935. Media-KITLV.nl
Soerakarta (Res) : Boyolali Tahun 1933. 1 : 25.000. Pt 1 Jaw 103 (14).
                  Koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
KG 2. Kartografi Indonesia 1913-1946. Jilid I. Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia.
Peneliti, Team,  1982. Sejarah dan Hari Jadi Kabupaten Boyolali. Surakarta: 
                 Universitas Sebelas Maret.
Radjiman, 1987. Sejarah Surakarta. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Radjiman, 2002. Toponimi Kota Surakarta dan Awal Berdirinya Kasunanan Surakarta Hadiningrat,                   Surakarta.





Kampung Jawa dan Paris tahun 1889

Kampung Jawa Pada Eksposisi Sedunia di Paris
Tahun 1889

Pendahuluan
Gambar dan kalimat yang disajikan oleh penulis dari majalah “Archipel” dengan judul asli “Le Kampong Javanais a l’ Eksposition Universelle de Paris en 1889”, berisi informasi yang dimulai tanggal 15 Oktober 1888, dan khususnya tanggal 2 Oktober 1889 yang ditujukan untuk memberikan informasi dan keterangan kepada khalayak ramai supaya mereka tertarik pada peristiwa yang cukup penting pada saat itu. Mulai dari Rencana Umum dari Lapangan Vietnam, Pintu Gerbang Kampung Jawa, Rumah di Atas Tiang, Lumbung Padi dan Warung, Orang Jawa Pembuat Topi, Para Pemain Angklung, Penari Jawa, Pertunjukan Selesai hingga Musik Ajaib yang semua ini berasal dari kampung-kampung yang masih ketal dengan adat dan kebudayaan Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Rencana umum dari lapangan Veteran
Tahun 1889 saat eksposisi digelar acarana ini menempati sebagian “Champ de Mars” atau Lapangan Veteran. Sisi lain dari tempat ini didirikan “Kampung Nusantara / Indian Archipelago”, yang juga terdapat paviliun Belanda yang berada di sebelah Champ de Mars. Sisi utara terdapat paviliun yang berasal dari Kamboja dengan beberapa tambahan yakni pagoda Angkor, terdapat juga paviliun-paviliun Chocin-China yang menghadap panggung Annam dan kampung Cina. Paviliun lainya yakni paviliun dobel dari Annam dan Tonken, kemudian pagoda Villenour atau kantor dagang Hindia Perancirs, di dekatnya terdapat kampung Senegal dan paviliun Madagaskar dan di ujung lapangan adalah Istana Tunisia dan paviliun Aljazair. Paviliun Marokko berada di Champ de Mars menghadap negara-negara lain yang sudah merdeka, seperti Meesir, Persia, Siam dan Jepang.

Pintu gerbang Kampung Jawa
Akhir abad ke 19 merupakan awal munculnya sifat khas dari Eksposisi sedunia, dikarenakan panitianya sudah memasang instalasi Belanda di Lapangan Veteran secara cukup teliti, untuk membuat sifat khas tersebut dari sifat kenyataan dan kemurnian. Para organisator tidak memberikan gambaran tentang kesempurnaan atas keberadaanya di pulau Samudera, akan tetapi mereka menginginkan sesautu yang lebih dengan cara mengambil suatu daerah terpencil beserta penghuni dan tempat tinggalnya, dan di pindahkan ke tengah-tengah kota Paris. Kedatangan mereka dari daerah asal mengalami kesulitan karena rombongan yang terdiri dari 40 orang pria dan 20 orang wanita, telah disibukan membangun tempat tinggal berupa desa atau kampung yang semuanya didirikan oleh pekerja Jawa dengan memakai alat-alat yang cukup sederhana.

Rumah di atas tiang, lumbung padi dan warung
Berawal dari pemikiran “Kalau tidak ada bambu yang baik ini, maka  orang Jawa pasti akan membuatnya, dikarenakan tempat yang ditempati orang baik-baik ini sedemikian rupa, sehingga tidak memungkinkan mereka lepas dari baha yang lentur ini”, mengakibatkan rumah-rumah kecil mereka membentuk sebuah kampung, yang mengadopsi contoh konstruksi di kepulauan “Hindia” berukuran tinggi yang sama dan dalam pembuatanya juga sama, digambarkan menjadi sebuah rumah diatas tiang di tepi sebuah sungai, dan sebuah lumbung padi yang merupakan salah satu bangunan umum di pedesaan.

Orang Jawa pembuat topi     
Awal dari penempatan rumah-rumah tersebut didiami oleh seorang pembuat topi dan keluarganya, tidak jauh dari si pembuat topi terdapat pembuat topi lainya akan tetapi dibuat dengan cara dianyam, topi tersebut tidak kalah indahnya karena dibuat dari jerami. Tidak diragukan lagi bahwa topi yang dianyam dari jerami tersebut tidak kalah dengan topi yang berasal dari Eropa. Hingga pertengahan abad 18, setelah topi tersebut meledak di masyarakat, sesegera mungkin Inggris mendirikan pabriknya. Topi tersebut bahkan juga dibuat pabrik di Behemen, Austria. Di Peru sendiri juga terdapat topi Panama yang dianyam dari kulit Quillaja, di Jawa sendiri memiliki keaslian yang hampir sama dan tetap mengikuti model yang sama seperti nyonya besar bangsa Eropa.

Para pemain Angklung
Angklung adalah alat musik yang berasal dari Jawa khususnya Jawa Barat, juga terbuat dari batang bambu yang berkualitas baik dan disesuaikan dengan tinggi rendahnya bunyi dan notasi-notasinya disesuaikan dengan panjang pendeknya bambu tersebut.

Penari Jawa
Pada saat Eksposisi Sedunia digelar, para penari Jawa dalam pertunjukan selalu tidak ada yang menandingi, bahkan tidak ada pertunjukan yang tidak ada penontonya dan penonton dari Eropa pada waktu itu merasakan terhipnotis dengan gerak para penari Jawa dan parfum yang meracuni dari bungan mazanilla yang mereka pakai. Rombongan penari ini terdiri dari 5 wanita dan 1 pria, mereka hidup dalam kesederhanaan bahkan dalam mementaskan pertunjukan selalu dari desa ke desa, baik dibayar maupun tidak.
Para anggota penari perempuan merupakan para “Abdidalem” Mangkunegoro, mereka terpilih dari 60 orang kelompok penari. Mereka atau “Tandak-tandak” tersebut lahir di dalam Istana Sultan dan selamanya tidak akan mereka tinggalkan kecuali untuk menikah pada saat yang ditunjukan oleh primbon. Di Jawa, profesi penari sama sekali tidak mencirikan hidup senang dan kebiasaan untuk bergembira selama tinggal di Eropa menurut Kebudayaan Terpsichoro. Wanita-wanita penari Jawa ini dalam berpakaian menggunakan pakaian mewah yang hampir identik dengan beberapa bas-relief yang ditemukan di candi-candi Khmer. Bahkan penari-penari itu berjalan seperti bermimpi, karena kakinya hampir tidak bergerak dalam setiap penampilanya. Gamelan juga mempengaruhi dan memberi inspirasi kepada penari-penari Jawa dan Debussy.

Pertunjukan selesai
Setelah pertunjukan selesai para penari-penari Jawa ini, cukup memprihatinkan kehidupanya, bahkan hanya untuk membeli syaal kepada penjual di sebuah sudut saja mereka harus berjalan tanpa sandal, menghindari genangan air dan lumpur bahkan nekat untuk melewatinya dan di sana mereka melihat pakaian-pakain yang indah dan benda-benda dari bulu, emas dan kain beraneka warna, mereka hanya bisa melihat dengan sedih dari kejauhan dengan rasa bingung dan gemetar dalam hati mereka. Hal tersebut membuat para nyonya dari kota pinggiran mengirimi mantel untuk malam hari yang cukup mewah kepada Sarkiyem, Taminah, Sukiyah dan Wakiyem. Para gadis-gadis Jawa tersebut sangat gembira dengan hadiah ini, dan mereka pun menyimpan baik-baik bra mereka yang berharga 25 sen. (Frantz Jourdain).

Musik ajaib
Gamelan, pawai musik dan tari Jawa, musik para serdadu di Aljazair, nyanyian Persia, tari perut, tarian Romawi, nyanyian Jepang kuno dan pesta untuk Dewi padi  merupakan perpaduan yang sangat “ajaib” bila didengarkan lebih dalam. 



Simpulan
Hingga akhirnya Eksposisi Sedunia tahun 1889 berasal dari “Kampungnya” orang menjadi menyanyangi para penari Jawa. Hal ini juga imbas dari kebebasan dari “Haremnya” Sultan Yogyakarta dikala pengawasan mengalami kelemahan. Di Paris, para seniman menemukan pertunjukan yang spektakuler ini di “Kampun Jawa” karena hampir setiap melihat pertunjukan selalu mendapat senyuman masyarakat yang dirasakan sebagai sebuah salam, dan mereka dalam mendengarkan alunan musik sangat mendalam bagaikan “memakan kunyit mentah-mentah”.

















Referensi
Husodo Pringgokusumo, Muhamad. 1992. “Kampung Jawa Pada Eksposisi Sedunia di Paris
Tahun 1889”. Solo : Mangkunegaran.
Engineering. “The Paris Exhibition, May 3 1889”. London : office for advertisement and publication.
 


Trace op De Grote Postweg Soerabaja. Jembatan Merah sebagai Jantung Utama Kota Tua Surabaya. Yang Tersisa dari Mahakarya Kolonalisme k...