Rabu, 25 Mei 2016

Napak Tilas Kejayaan Gunung Merapi, Mata Air Sumber Kehidupan Bagi Masyarakat Lereng Gunung Merapi.

Pendahuluan
Penjajah kolonial dalam mendirikan sebuah koloni mereka diamanpun berada sangat total dalam melakukannya. Hal ini dapat ditelaah dari berbagai sumber yang sejaman,  baik wawancara maupun sumber tertulis dan sumber dokumentasi yang berasal dari waktu kejadian tersebut berlangsung. Gunung Merapi menyimpan banyak sejarah yang terus bersembunyi dibalik kemegahannya. Mulai dari jaman kerajaan hingga kolonialisme di Jawa khususnya Boyolali tahun 1915.
PLTA, air, water toren hingga pabrik kopi merupakan beberapa hasil pembangunan Belanda di Boyolali. Lokasi pendirian beberapa instalasi listrik dan pabrik tersebut berada di kaki gunung merapi dan sangat dekat dengan sumber mata air  dan kondisi tanah yang subur merupakan awal mula didirikanya instalasi-instalasi tersebut.

PLTA, Water Toren, dan Eks Pabrik Kopi

Kota Boyolali sudah dapat dikatakan maju dalam bidang irigasi dan pertanianya sejak kolonial menduduki sebagai pos tundan. Bahkan, Boyolali sendiri sudah memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Air atau PLTA sendiri. Hal ini dikarenakan kondisi geografis Boyolali yang berada di kaki gunung merapi dan merbabu sekaligus dekat dengan sumber mata air, membuat walanda (Belanda) mulai memperhitungkan daerah-daerah yang dekat dengan sumber air untuk didirikan pabrik dan sarana prasaran yang mendukung.

(Water Toren, Dukuh Wonopedut Desa Sanggabumi, Cepogo Boyolali)


(Water Toren dilihat dari sudut jalan raya menuju Wana Pedut)

Lokasi yang dianggap strategis untuk mendirikan PLTA dan pabrik kopi di Boyolali yakni kompleks pasar Cepogo, Kec. Cepogo Kab. Boyolali. Lahan yang dekat dengan gunung nan subur menjadi pilihan untuk menanam kopi, dan sumber air yang terus mengalir membuat sekitar areal teresebut cocok digunakan sebagai PLTA lengkap dengan turbin dan pipa besi berisi air yang dialirkan untuk proses pengelupasan (ngonceki) kulit kopi hingga pencucian biji kopi. Dalam proses ngonceki kulit kopi tersebut masih dilakukan dengan cara tradisional yang menggesekan kopi yang belum dionceki dengan jrambahan (lantai rumah tradisional) yang masih kasar, sehingga kulit dan biji kopi tersebut terpisah. Proses ini berlangsung sepanjang 1 km (kurang lebih).


(Pipa Air dari Water Toren menuju ke Eks Pabrik Kopi dan PLTA)

Pipa besi yang berukuran besar yang dialirkan dari water toren yang berada di Desa Ringin selain bergunan untuk proses pekerjaan dalam pabrik juga berfungsi sebagai penggeran turbin PLTA. Pipa tersebut tebal 1,5 cm dengan panjang dari hulu hingga ke hilir sepanjang 2 km.


(Pintu masuk eks Pabrik Kopi, sekarang menjadi pintu masuk Pasar Cepogo)


(Pasar Cepogo yang dahulu merupakan pusat Pabrik Kopi di Boyolali)


(Sisi utara eks pabrik kopi.Dahulu merupakan jalur keluar biji kopi dari dalam pabrik)

Transportasi dan pengiriman biji kopi

Dalam  bidang transportasi, kompeni selalu menggunakan loko uap kecil (monthit) untuk membawa kopi dari kebun ke pabrik. Akses dari Boyolali menuju ke pabrik kopi dan turbin PLTA tersebut adalah melewati desa Tampir Kec. Musuk Boyolali. Sistem transportasi yang masih minim merupakan alasan yang cukup masuk akal, ditambah lagi dengan kondisi medan yang naik turun dan banyak belokan lantaran di gunung. Dalam penagaksesanya rel-rel tersebut dibuat malang melintang mengikuti kontur tanah.

(Eks Stasiun di Tampir. Kec. Musuk Boyolali. Salah satu stasiun besar yang berada di barat Boyolali)

Tampir, merupakan  salah  satu  kecamatan di Boyolali yang berada di barat Kota Lama Boyolali sekitar 30 menit perjalanan. Di kecamatan ini terdapat beberapa peninggalan cagar budaya buatan kompeni, diantaranya stasiun tampir, rumah bergaya kolonial di sudut jalan dan bangunan bekas rumah oven tembakau. Selain itu, menurut cerita sesepuh di daerah ini dahulu merupakan bekas pabrik jaman Belanda hingga tahun 1950 gedung-gedung tersebut dirobohkan oleh gerilyawan, karena dibangun oleh kompeni.



(Rumah yang masih berhubungan dengan bekas pabrik di Tampir)













Simpulan
Kota Boyolali tidak hanya menyimpan puing-puing candi dan artefack saja,  melainkan menyimpan berbagai cagar budaya yang belum diangkat menuju permukaan. Sama seperti halnya dengan Kota Lama Boyolali yang muncul sebagai ikon baru mendampingi patung kuda arjuna wiwaha di simpang lima Boyolali. Kota Boyolali merupakan kota kecil yang memiliki beragam situs purbakala maupun situs jaman kolonialisme.
Water Toren, Pipa air, PLTA, Eks Coffiefabriek van Tjepogo dan Eks Pabrik di Tampir merupakan bangunan cagar budaya yang hilang ditelan jaman. Akan tetapi, menghidupi masyarakat sekitarnya dalam tahun-tahun kejayaan kompeni di pulau Jawa. Sama persis dengan kalimat KGPAA Mangkunegoro VI selaku pemilik Eks Suikerfabriek van Tjolomadoe Karanganyar yakni “Sanajan Ora Nyugihi Nanging Nguripi” atau “Meskipun Tidak Membuat Kaya Tetapi Menghidupi” dirasa cocok untuk mengabadikan beberapa cagar budaya yang telah hilang meskipun sejak berlangsungnya penajahan.
Kopi merupakan komoditas utama selain rempah-rempah yang didapat dari hasil panen warga pribumi Boyolali, karena pada masa penjajahan pertanian, perairan dan perkebunan dikuasai seluruhnya oleh kompeni dan masyarakat pemilik lahan wajib bertani dan hasil panen berupa hasil bumi wajib diserahkan kepada kompeni sebagai pajak.














Sumber
Bapak Yun Sudarmasto. Warga Boyolali kota umur 54 tahun.
Bapak Wagiman. Warga Mliwis Cepogo umur 55 tahun.
Pakde Asmo. Warga Boyolali kota umur 67 tahun.

Dan Terimasih penulis ucapkan kepada keramahan seluruh warga Tjepogo Bojolali.

Selasa, 17 Mei 2016

Raden Mas Toemenggoeng Hario Oen Boen Ing Dharmohoesodo


Dokter Sosiawan Keluarga Praja Mangkunegaran
Pelopor Pembaruan Masyarakat Surakarta

Oen Boen Ing

Oen Boen Ing Darmohadikusumo atau lebih dikenal dengan dr Oen, beliau tidak mau dipanggil Dokter keturunan pribumi asli dan juga keturunan tionghoa. Lahir di Salatiga 3 Maret 1903 dari pengusaha tembakau yang cukup kaya dan sukses, kemudian menikah dengan Djien Oen Nio di tahun 1933. Meninggal 30 Oktober 1982 pukul 08.30 dalam umur 80 tahun. Beliau tinggal di sebuah rumah bergaya kolonial di Jalan S. Parman nomor 48 Kelurahan Kestalan Banjarsari Solo, yang sekaligus tempat praktek dr Oen.  Dr Oen Boen Ing dilahirkan dalam sebuah keluarga pedagang tembakau yang kaya-raya, cucu seorang sinshe Tionghoa yang juga suka menolong banyak orang. Karena pengaruh kakeknya itulah, beliau kemudian dikenal sebagai dokter yang banyak membantu pasiennya. Setelah lulus sekolah menengah, Oen sudah ingin mempelajari ilmu kedokteran model Barat dan menjadi dokter. Akan tetapi, keinginannya ditentang keras keluarganya yang tidak ingin ia menjadi kaya dari penderitaan orang yang sakit. Meskipun demikian, beliau tetap bertekad mewujudkan cita-citanya untuk menjadi dokter dan mendaftarkan diri di School Tot Opleding Van Inlandsche Van Arsten atau STOVIA di Batavia / Jakarta dan lulus pada tahun 1932. 

Sepang Terjang dr Oen Sebagai dokter Sosiawan
Praktek pertama kalinya dibuka di Kediri 1932-1933 dan akhir tahun 1933 kembali ke Solo dan menjadi dokter swasta. Dan tahun 1977 beliau kembali pulang ke Salatiga, dibalik semua itu hingga akhir hayat dr Oen tidak dikaruniai anak karena alasan keluarga. Tahun 1935 dr Oen memimpin poliklinik swasta yang bernama “Tsi Sheng Yuan” dan tahun 1944 diangkat menjadi dokter pribadi Istana Mangkunegaran. 31 Agustus 1952 mendirikan Yayasan Balai Kesehatan Tsi Sheng Yuan, dan pada perkembangannya berhasil menciptakan Rumah Sakit Panti Kosala di Kandang sapi dengan kapasitas pertama kali 170 ruang. Dan Rumah Sakit swasta ini menjadi saksi bisu atas perjuanagn dr Oen mengabdi pada masyarakat yang kurang mampu sekalipun.
Lepas dari sepak terjang beliau, nama dr Oen pernah digunakan orang tidak bertanggung jawab untuk menarik upah dari pasien yang datang kepadanya, kejadian ini terjadi pada masa pendudukan Jepang. Kejadian tersebut bagi pasienya dengan senang hati membayarnya, karena tahu bahwa dr Oen mau dibayar, akan tetapi masyarakat heran atas peristiwa tersebut dan mengakibatkan kepala polisi seksi I bernama Domo Pranoto waktu itu menangkap penipunya yang tak lain adalah mantan pembatu dr Oen yang sempat menlihat catatan tentang pasienya. Dan saksi lain yang kebetulan bekerja di apotik “Kepunton”, mengatakan bahwa setiap hari terdapat lima resep atas nama pasien, akan tetapi pasien tidak dipungut biaya dan obatnya pun dibayar oleh dr Oen. Hal tersebut yang membuat dr Oen dimata masyarakat dikenal sebagai dokter yang mengabdi tanpa pamrih.
Dimata Sri Mangkunegoro VIII, tanggal 11 September 1975 menyatakan bahwa sejak 1944 dr Oen menjadi dokter pribadi Istana Mangkunegaran. Disana beliau memberikan pelayanan kedokteran kepada keluarga, putra sentana dalem dan pegawai keraton, dan tidak mau menerima imbalan atas jasanya. Dan karena jasa yang besar dari dr Oen kepada Sri Mangkunagoro VII dan Sri Mangkunagoro VIII dan para kerabat, maka beliau dianugerahi kehormatan sebagai Bupati Mangkunegoro dengan sebutan Kangjeng Raden Tumenggung Obi Darmohusodo, dan Obi adalah singkatan dari Oen Boen Ing.
  Beliau tidak hanya berjasa bagi keluarga Mangkunegaran saja tetapi juga pada para pejuang kemerdekaan, terlihat pada perhatianya kepada pejuang Kemerdekaan yang menderita sakit atau luka pada saat melakukan perlawanan kepada Belanda. Selain itu juga terlihat sangat jelas ketika dr Oen dengan iklas memberikan obat “Penicillin” persediannya untuk keperluan pengobatan Panglima Besar Jenderal Sudirman yang sedang sakit saat perang gerilya.

Rumah Sakit Panti Kosala Diusulkan Menjadi Rumah Sakit “Dokter Obi Darmohusodo”
Rumah Sakit Panti Kosala yang didirikan dr Oen merupakan saksi sejarah perjuangan beliau dan sekaligus tempat terakhir beliau disemayamkan sebelum dibawa ke rumah duka tiong-ting untuk dikremasi. Pada waktu itu datang juga Paduka Sri Mangkunegoro VIII, kakanwil depkes, IDI Surakarta dan lainya, mereka juga memberikan sambutan berdasar instansi yang mereka wakili. Setelah upacara adat kebesaran Istana Mangkunagaran di pendapa kamar mayat RS Panti Kosala, jenazah beliau dibawa menuju ke gerbang rumah sakit dan diletakan sementara di halaman dan meninggalkan rumah sakit menuju tiong-ting.
Dijalan raya sepanjang kandang sapi, perempatan panggung hingga jalan Kolonel Sutarto / lokasi tiong-ting disambut puluhan ribu masyarakat yang merasa kehilangan sosok beliau. Kondisi di tiong-ting tidak jauh berbeda dengan di rumah sakit maupun sepanjang jalan, setibanya jenazah di ruang krematorium sudah ditunggu oleh para pelayat yang tidak sempat ikut prosesi upacara di RS Panti Kosala.  Dan KRMT Sanyoto atas nama Sri Mangkunegoro VIII memimpin langsung upacara perabuan, RMNg Suratto yang membawa Panyung Kebesaran Bupati Sepuh dari Mangkunegaran memimpin punggawa-punggawa untuk memikul peti jenazah dr. Oen Boen Ing untuk diperabukan.
Prosesi perabuan memakan waktu kira-kira tiga jam, dan pada sore harinya (Jumat sore) abu hasil krematorium itu “Ditipkan” di RS Panti Kosala, akan tetapi kapan “labuhan” dilaksanakan belum ada keputusan. Meurut data yang kredibel, abu dr Oen, akan dilabuh dibawah monumen dr Oen Boen Ing yang akan dibangun di depan RS Panti Kosala. Keterangan seorang pengurus Yayasan RS Panti Kosala mengatakan bahwa rumah sakit yang dijadikan lokasi pengabdian dr Oen Boen Ing demi kemanusiaan dimasa hidupnya, diganti nama menjadi Rumah Sakit dokter Obi Darmohusodo. “satu permintaan yang sederhana dan tidak berlebihan, dibandingkan tenaga, pikiran, dan harta yang diberikan dari sosok dokter sosiawan Oen Boen Ing yang kini telah tiada”.

53 Pusaka Peninggalan Dr Oen Koleksi yang Tiada Duanya
Selepas kepergian dr Oen, pihak kelurga dengan iklas menitipkan sebanyak 53 pusaka koleksi milik almarhum Kanjeng Raden Tumenggung Obi Darmohusodo atau dr Oen dan diterima langsung oleh putra mahkota Mangkunegaoro VIII di Pendopo Pracimayasa Puro Mangkunegaran pada tanggal 3 Maret.
Diawali dengan penandatanganan penyerahan oleh keluarga diwakili Ny Lenny Rahardjo dengan GPH Djiwokusumo, dan dilanjutkan pemeriksaan barang yang diserahkan antara lain tombak, anak panah, keris, golok dan pedang. Alasan pusaka tersebut disimpan di Mangkunegaran supaya terawat dengan baik dan bisa diperlihatkan kepada wisatawan bahwa inilah hasil koleksi almarhum yang jarang diketahui orang umum. Dan bagi Mangkunegaran dengan diserahkan pusaka tersebut merupakan sumbangan yang cukup besar, karena merupakan hasil dari kebudayaan di Jawa dan diharapkan tidak hanya orang jawa yang memelihara tetapi semua element masyarakat.

Memaknai “ Isi” dari Benda Pusaka Tersebut
Raden Mas Ngabehi Satrio menjelsakan dari ke 53 benda pusaka tersebut hanya tinggal 10 saja yang ber “isi” ini disebabkan tidak terawat dan tidak diberi “makan” sepeninggal almarhum. Maksud dari kata “isi” disini adalah senjata-senjata tersebut pernah digunakan dalam pertempuran dan memakan korban, baik dalam peperangan maupun berburu tidak dijelaskan. Selain itu juga pernah digunakan sebagai sarana pengobatan maupun pertahanan dan pengamanan dari bahaya. Sehingga supaya terjaga “keampuhanya” dan tak hilang “isi”nya, barang-barang atau pusaka tersebut setelah dimandikan diberi “makan” berupa sesaji, dan akan disimpan di ruang kyai khusus untuk penyimpanan benda-benda pusaka di museum Mangkunegaran, disandingkan dengan pusaka-pusaka yang sudah sejak dulu ada.

Angka tiga punya makna penting
Sebagai dokter, Oen Boen Ing terkenal tidak membeda-bedakan pasiennya, apapun juga kelompok etnis, suku, agama, dan kelas sosialnya. Bahkan pasien dibiarkannya mengisi ataupun tidak mengisi kotak uang yang terletak di ruang praktiknya secara suka rela. "Tugas seorang dokter adalah menolong," demikian semboyan kehidupan dan pelayanan Dr. Oen. Selain itu, Dr. Oen selalu membuka praktiknya sejak pk. 3.00 dini hari. Menurut mitos di masyarakat hal ini dihubungkan dengan hari kelahirannya, 3 Maret 1903. "Maka semua karya saya sebaiknya dimulai dengan angka 3,". Angka tiga memang menjadi ciri kehidupan Dr. Oen Boen Ing. Nomor telepon di rumahnya 3333. Bangunan pertama di Rumah Sakit Kandang Sapi yang didirikannya, dinamai Triganda, dan diresmikan pada 3 Maret 1963.
Ketika Dr. Oen meninggal dunia pada 1982, masyarakat Solo dan sekitarnya, baik orang kurang mampu hingga kecukupan sungguh merasakan kehilangan yang besar. Hal ini tampak dari kehadiran ribuan rakyat kecil kepadanya yang berdiri di tepi jalan untuk memberikan penghormatan mereka yang terakhir kepada orang yang telah berjasa memberikan kehidupan yang lebih sehat kepada mereka di tengah-tengah keberadaan mereka yang serba kekurangan.
Kalimat yang sering diucapkan beliau ketika memberikan pengobatan kepada masyarakt “Isa bayar ya bayara sak duwemu pira, ora duwe ora mbayar ya ora apa-apa. Aku ora njaluk dibayar”. Oen Boen Ing Darmohusodo. Bahkan, beliau juga membayarkan harga obat yang diberikan kepada pasienya.



(Foto mendiang Dr. Oen Boen Ing Dharmohoesodo)


(Foto Dr. Oen di dalam ruang praktek sekaligus kediaman pribadi. Foto : KITLV.nl)

(Dr Oen ketika mendapatkan penghargaan. Foto by wikipedia)


(Rumah mendiang Dr Oen Boen Ing yang sekaligus dipergunakan sebagai ruang praktek. Saat ini dalam proses revitalisasi oleh pemkot Solo. Foto dok pribadi)

(Peringatan 100 tahun Dr Oen Boen Ing, sekaligus peringatan 70 tahun yayasan panti kosala / RS Dr Oen Kandang Sapi Jebres Surakarta).












Sumber Arsip
Suara Merdeka, November 1982
Suara Merdeka, 3 Maret 1983
Suara Merdeka, 27 Februari 1983



Trace op De Grote Postweg Soerabaja. Jembatan Merah sebagai Jantung Utama Kota Tua Surabaya. Yang Tersisa dari Mahakarya Kolonalisme k...