Selasa, 06 November 2018

Trace op De Grote Postweg Soerabaja.

Jembatan Merah sebagai Jantung Utama Kota Tua Surabaya.
Yang Tersisa dari Mahakarya Kolonalisme kawasan "Rodeburg".

Jejak Pluralisme Masyarakat di Surabaya Utara.
Awal abad ke 18 Surabaya menjadi pusat perniagaan terbesar kedua setelah Batavia,  adanya pelabuhan utama disusul dengan Jalan Raya Daendels atau De Groote Postweg juga keberadaan Kalimas yang berfungsi sebagi jalur utama perdagangan dan transportasi. Tidaklah mengherankan apabila sepanjang kalimas atau yang lebih dikenal sebagai kota lama surabaya banyak kita temukan kantor ekspedisi serta bangunan sarana prasarana lain bagi masyarakat Eropa dan Tionghoa. Selain masyarakat Eropa dan Oosterling, di sini juga terdapat komunitas Yahudi dan Bumiputera yang hidup berdampingan dengan damai, ini terlihat jelas dengan adanya kompleks pemakaman yang letaknya saling terkait dan berdekatan. 


Coat of Arm Soerabaja 1930.

Kedatangan para pengelana Eropa dan Timur Asing ini selain berhubungan erat dengan rempah-rempah, sebagian dari mereka merupakan pelarian dari tempat asal mereka. Dalam perkembangannya, pendanaan kongsi dagang VOC sebagian dibantu oleh orang-orang Yahudi. Kerjasama ini pada akhirnya melahirkan satu perkumpulan yang berfungsi untuk menyebarkan paham persaudaraan tanpa melihat perbedaan suku, ras, agama, dan negara. Perkumpulan ini dikenal sebagai perkumpulan Freemasonry. Sebagai sarana pendukung, maka didirikanlah gedung untuk sarana berkumpul anggota perkumpulan. Gedung/ logde/ loji ini masih bisa kita temukan dan saat ini berstatus cagar budaya pemerintah kota. 
Menurut J. Saphir, keberadaan masyarakat Eropa dan Yahudi  di Surabaya pada tahun 1822 berada di kawasan Jalan Kayon dan Jembatan Merah. Penempatan ini berdasarkan adanya aturan regeringreglement yang diberlakukan. Salah satu buktinya, di Surabaya kita bisa menemukan banyak sekali peninggalan dari berbagai bangsa, baik Eropa, Tionghoa, Arab bahkan Yahudi. Akhirnya berdasar data diatas mulailah perjalanan dari Surakarta dengan waktu tempuh 3,5-4 jam perjalanan menggunakan kereta api menuju Surabaya. Tujuan utama adalah Rodeburg atau Jembatan Merah dan sekitarnya, demi mempelajari peninggalan kolonialisme yang ada disana seperti apa yang akan dikaji berikut ini.

Kotak merah besar adalah keberadaan Gedung Singa dan kantor ekspedisi lainya, sedangkan kotak merah kecil adalah Jembatan Merah atau Rodeburg dalam Kaart van Soerabaia 1866.
Source: Maps Universiteit Leiden.

Napak Tilas “Rodeburg” Soerabaja.
Lokasi pertama yang dikunjungi adalah “ Gedung Singa”, Jembatan Merah terutama kawasan sepanjang Kalimas atau Willemskadestraat.

Tampak gedung “Algemeene Maatschappij van Levenverzekering en Lijfrente” berdiri berdampingan dengan beberapa gedung perdagangan lainnya. Gedung ini dirancang oleh Hendrik Petrus Berlage (1856-1934) seorang arsitek lulusan Delft Belanda. Pengambilan gambar dari tengah jembatan merah saat ini. Source: Collectie Tropenmuseum.

Kondisi Gedung Singa Jembatan Merah Surabaya saat ini, pada bagian depan gedung terdapat mozaik karya Jan Toorop-seorang seniman kelahiran Purworejo Jawa Tengah. Mozaik ini berisi tentang kisah mengenai kondisi Mesir Kuno dan pentingnya menjaga jiwa dan raga untuk menghadapi masa depan yang tidak menentu.

Dijalan yang sama kita akan temukan bangunan-bangunan cagar budaya dalam kondisi rusak ringan hingga rusak parah. Untung saja sisi selatan gedung singa masih banyak yang terawatt bahkan masih digunakan.

Fasade depan gedung “Algemeene Maatschappij van Levenverzekering en Lijfrente” berdasarkan inkripsi pada bagian samping gedung, dan pada bagian atas juga memiliki mozaik layaknya Gedung Singa, hanya saja didesain oleh P.A.J Moojen.

Adanya bandar / pelabuhan untuk kapal kecil di Kalimas menyebabkannya menjadi jantung perekonomian masyarakat di Surabaya utara.Pelabuhan ini menjadi lokasi masuknya kapal-kapal jung kecil yang akan memasuki kota. Kapal jung kecil ini berfungsi sebagai kapal angkut dari pelabuhan besar menuju pelabuhan-pelabuhan kecil di dalam kota, selain itu juga berfungsi lain sebagai kapal angkutan dan bahkan kapal perang. Ketika pelaut Portugis mencapai perairan Asia, mereka mendapati perairan Jawa dipenuhi oleh kapal-kapal jung Jawa. Kapal-kapal tersebut merupakan kapal dagang milik orang Jawa untuk menyusur jalur rempah yang cukup vital seperti Maluku, Jawa, dan Malaka. Saat itu cukup banyak saudagar dan nahkoda kapal yang sekaligus menjadi pengendali perdagangan internasional. Namun akhir abad ke 17, kapal-kapal itu tidak lagi digunakan untuk perdagangan jarak jauh dan hanya digunakan untuk aktifitas masyarakat sekitar saja. Hingga akhirnya VerenigingOost-Indie Company brdiri dan dibangunlah Galangan Kapal VOC di Batavia.

Menara Syahbandar Kalimas Soerabaija. Pada bagian fasad depan terihat adanya logo “Ikan dan Buaya” di sisi kiri dan “Pedang” di sisi kanan. Pertanda bahwa Surabaya merupakan salah satu kota pelabuhan terbesar di Asia Tenggara.

Salah satu rumah dengan konsep shophouse di Jalan Gula. Sepanjang jalan ini memiliki konstruksi rumah yang mirip satu sama lain.

Kondisi salah satu rumah bergaya khas Indische Empire Style di sekitaran pabrik limoen belakang sungai kalimas.

Kalimas sebagai jalur transportasi dan perdagangan membawa dampak terhadap masyarakat yang berada di sekitarnya, baik komunitas Eropa, Tionghoa, maupun komunitas lokal Surabaya sendiri.

Pabriek Limoen J.C. van Drongelen & Hellfach, merupakan pabrik limun pertama di Surabaya yang berdiri tahun 1923. Pabrik limun sejenis juga terdapat di beberapa kota lain. Di Pekalongan bernamaLimoen Oriental dan Surakarta bernama De Hoop”, sayangnya pabrik Limun di Surakarta ini sudah lama berhenti beroperasi.

Karena keterbatasan waktu yang ada, perjalanan menyusuri kota tua Surabaya bagian utara hanya bisa mengeksplorasi areal yang sangat terbatas. Namun dari sini sebenarnya sudah terlihat jelas bagaimana Gemente Soerabaja berkembang sampai tahap ini. Keberadaan bangunan-bangunan cagar budaya di seputaran Jembatan Merah ini mendapat perhatian khusus baik dari pihak pemilik, pengguna, pemerintah, dan masyarakat.
Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan peduli?. Dimulai dari hal paling sederhana, misalnya pendokumentasian bangunan sebelum hilang atau berubah bentuk. Karena sebenarnya yang harus dihilangkan dari kolonialisme adalah kesewenangan, pembodohan, serta intmidasinya, bukan peninggalan fisiknya. Karena peninggalan fisik masa kolonial adalah bukti perjalanan sebuah bangsa.

Penulis ketika pertama kali menginjakan kaki di Surabaya, lokasi berada di Hotel Yamato didepan Loji de Vriendschap Tunjungan.
Referensi

National Geographic Magazine Indonesia, 2013. Memecahkan Teka-Teki Mosaik Jan Toorop di Surabaya.

Senin, 23 Oktober 2017

Saksi Bisu itu Berjuluk “Omah Singa”, Kediaman Terakhir sang Raja Gula dari Kabupaten Pasuruan.

Perkembangan Pasoeroean di awal abad Ke-19.

Awal abad ke-18 atau saat kebijakan cultuurestelsel digalakan oleh pemerintah kolonial Belanda pada masa pemerintahan Graff Johanees van den Bosch, banyak sekali bermunculan perkebunan tebu dan pabrik gula di seluruh Hindia Belanda. Hindia Belanda merupakan negara yang menjadi salah satu tujuan utama para saudagar Eropa dan Tionghoa untuk berdagang hasil perkebunan. Ini semua tidak terlepas dari kondisi geografis yang representatif untuk tinggal serta mendirikan sarana prasarana pendukung.

Alasan lain adanya cultuurstelsel atau tanam paksa ini untuk menutup kas negara yang kosong selama perang Diponegoro berkecamuk. Komoditas utama yang dihasilkan adalah gula, selain itu juga kopi, pewarna tekstil atau nila, dan kakao. Seiring dengan munculnya revolusi industri di Eropa mengakibatkan banyak perusahaan di Indonesia (Hindia Belanda)  mengganti tenaga kerja yang tadinya dikerjakan tenaga manusia menjadi tenaga mesin guna meningkatkan hasil produksi.

Pasuruan merupakan salah satu Kota di Hindia Belanda yang tidak luput dari kolonialisasi. Lokasi yang strategis, adanya pelabuhan dan akses ke beberapa kota di sekitarnya menjadi alasan utamanya. Kolonialisasi di Pasuruan ini dimulai tahun 1707 ketika Kongsi Dagang VOC mulai menempati wilayah jajahannya dan memulai pembangunan benteng bernama“De Wilde”. Belanda bukanlah pihak yang pertama kali melakukakan kolonialisasi di sini,  sebelumnya sudah ada kolonialisasi sebelumnya oleh pemerintah Inggris, meskipun populasi orang Eropa dani Inggris tidaklah banyak. Laporan tentara Inggris menggambarkan Pasuruan sebagai tempat yang cocok dengan cuaca yang menyehatkan. Kondisi tersebut membuat rumah residen dan beberapa bangunan pendukung lain dimulai segera didirikan pada tahun 1811 (Donald Macline Champbell. 1915; 497).

Pasuruan sampai saat ini dikenal sebagai “surganya pabrik gula”, meskipun banyak yang sudah mati bahkan dibongkar pada masa Clash II oleh pejuang Indonesia demi mencegah alih fungsi oleh tentara Belanda. Beberapa pabrik yang pernah berdiri di Kabupaten Pasuruan didasarkan atas arsip “Lijst van Naamlooze Venootschappen in 1891 Nedherlandsch-Indie diantaranya yakni:“Maatschappij tot exploitatie der Suikerfabriek Sempal Wadak”Malang, “Koffiecultuur Maatschappij Soember Djero”, “Koffiecultuur Maatschappij Donowari”, “Cultuur Maatschappij Madoeardjo” Amsterdam, “Cultuur Maatschappij Kali Bakar” s-Gravenhagen dan“Maatschappij tot Exploitatie van het land Wonokoijo” Amsterdam.

“Omah Singa” Kediaman Taipan China di Pasuruan.

Perjalanan awal menuju“pintu gerbang” kawasan pecinan di Kota Pasuruan baru dimulai, ketika adanya keinginan jelajah ke salah satu kota pesisir di Jawa Timur ini. Hanya saja pada peta buatan Belanda tahun 1934 kompleks pecinan tersebut tidak digambarkan secara jelas, hanya dijelaskan bahawa terdapat klenteng di pinggiran kota yakni Klenteng Tjioe Tik Kiong.

Peta Kota Pasuruan tahun 1934.Kawasan“Omah Singa” berdampingan dengan 
Kampung Kaoeman dan tepat di pinggiran kota.
Sumber: maps.library.leiden.edu.

Perjalanan diawali dari Kota Malang dengan menumpang bus antar kota menuju ke Surabaya. Kami turun di kawasan Kebon Agung tempat biasa penumpang arah Pasuruan turun dari bis, dilanjutkan perjalan sekitar 1 jam dengan jalan kaki menyusuri rindangnya pepohonan di sepanjang jalan dan harus bergantian dengan lalu lalang kendaraan. Awalnya kami disambut dengan gapura bergaya oriental khas Tionghoa yang ternyata memang gerbang masuk kompleks pemakaman Tionghoa atau biasa disebut dengan bong.

Gapura pemakaman Tionghoaatau bisa disebut dengan bong. Pada bagian atas lengkung pintu masuk terdapat ornamen dengan bunyi “pemakaman umum”.
Sumber: dokumentasi pribadi.

Mengacu dari peta tahun 1934 gapura ini berada di pinggiran kota, dan memang berada di kawasan pecinan. Gapura ini memang dahulunya adalah pintu masuk ke pemakaman elit Tionghoa, mengacu pada stratifikasi sosial masa kolonialisme di Indonesia. Dan gapura inilah awal mula perjalanan menyusuri pecinan di Pasuruan berawal. “Omah singa” begitu penjelasan dari sang penjaga rumah yang berhasil kami temui, ketika kami melakukan perjalanan menyusuri kawasan pecinan di Pasuruan yang kental akan bangunan bernuansa Tionghoa dan Eropa berdiri.

Paviliun bagian kiri dari rumah milik keluarga Kwie. Terlihat penggunaan ornamen patung singa yang sedang berkelahi dengan seekor ular di kaki depannya.
Sumber: dokumentasi pribadi.

Rumah utama sekaligus pintu utama rumah keluarga Kwie. Bagian depan rumah ini memang tidak ada ornamen patung kuda, tapi digantikan dengan patung dewi Yunani.
Sumber: dokumentasi pribadi.

Paviliun sebelah kanan dari rumah keluarga Kwie. Ornamen patung singa di depan paviliun ini berpose terbalik dari patung singa yang berada di paviliun kiri.
Sumber: dokumentasi pribadi.

Rumah ini memiliki tata ruang, rumah utama ada di tengah kemudian rumah samping kanan dan kiri berfungsi sebagai paviliun. Julukan tersebut didasarkan atas keberadaan dua patung singa yang didesain sedang berburu. Patung singa menandakan bahwa simbol salah satu negara  di Eropa yakni Belanda, dalam artian bahwa orang yang tinggal di rumah dengan patung singa bukan orang Belanda murni atau biasa disebut Indo-Belanda. Meskipun yang tinggal disana adalah orang Tionghoa, karena Tionghoa dan Belanda juga sama-sama memiliki status sosial tinggi. Tidak hanya rumah saja pemakaman milik orang elite Eropa dan Tionghoa juga ada yang menggunakan patung singa untuk hiasan makam.

Omah Singa ini menurut catatan sejarah amerupakan milik keluarga Han dan Kwie selaku raja gula di Pasuruan. Raja gula? Apa hubungan antara Pasuruan dan pabrik gula? Tentu saja didasarkan atas letak yang strategis dekat dengan pelabuhan, merupakan salah satu faktor didirikannya pabrik gula. Tanaman penghasil gula yakni tebu mudah tumbuh di daerah perkotaan dan daerah landai yang dekat sumber air guna mendapatkan hasil yang maksimal. Hampir setiap kota dan kabupaten di Indonesia memiliki setidaknya 2 pabrik gula, dan dalam pengelolaanya ditangan Eropa, Tionghoa dan juga elite Jawa (Kerajaan).

Kwie Liat Liem dan Han Thiam An adalah pemilik salah satu dari puluhan pabrik di Pasuruan, lebih tepatnya di bawah district Tengger pada tahun 1878 dengan nama pabrik “Bendo”. Selain di Tengger juga ada di Wangkal yang dikelola oleh N.V. Cultuurmaatschappij Randoe-Agoeng, o., A, G dan bernama pabrik “Randoe Agoeng” berdasar pada arsip Lijst van Onderneming Nedherlandsch-Indie. Seiring menurunnya produksi gula karena malaise atau kelesuan ekonomi melanda Indonesia tahun 1998, membuat banyak pabrik gula di Indonesia gulung tikar dan pabrik gula terlebih yang masih dapat bertahan diakuisisi oleh pemerintah Indonesia atau dengan kata lain nasionalisasi.

Sesaat setelah puas menikmati setiap detail dan ornamen dari Omah Singa, kami melanjutkan perjalanan ke gedung Yayasan Pancasila yang tepat berdiri di seberangnya. “Biasakan terlebih dahulu ijin, karena ini merupakan kunci untuk berkunjung” dan tepat sekali waktu yang kami ambil, yakni ketika halaman depan akan digunakan untuk pertandingan basket. Awalnya kami mengambil sudut dari depan lurus, karena cuaca terik dan rasa penasaran akan bagian dalam bangunan akhirnya kami menuju ke beranda depan rumah. Deretan colomn bernuansa doric yang khas menyambut kedatangan kami, dengan jumlah 8 colomn yang menjulang menunjukan bahwa ini kediaman milik saudagar kaya.

Salah satu rumah milik keluarga Han yang kini berubah menjadi Yayasan Pancasila.
Sumber: dokumentasi pribadi.

Gedung di dalam gambar ini biasa disebut dengan Lodge, kalimat lodge ini memiliki arti rumah be ar atau gedongan. Lodge biasa disebut sebagai rumah besar pastinya tidak cocok kalau tidak menggunakan tegel bermotif dan marmer layaknya rumah saudagar lainya. Bagian beranda depan atau voor veranda menggunakan tegel marmer yang diproduksi dari Surabaya, Semarang dan Batavia sedangkan bagian dalam menggunakan tegel motif.

Pernah bermalam di Hotel Trio Solo dekat Pasar Gede Hardjonagoro atau pernah melihatnya sekali?. Ya gedung “Yayasan Pancasila”ini memiliki konstruksi yang sama hanya saja terdapat beberapa perbedaan yang cukup kental. Hotel Trio memiliki konstruksi 2 lantai dan memiliki kamar 6 pada setiap lantai dengan ukuran cukup besar, sedangkan gedung Yayasan Pancasila memiliki konstruksi biasa layaknya rumah pribadi dan hanya memiliki 6 kamar.

Fasade depan gedung dengan deretan colom doric.
Sumber: dokumentasi pribadi.

Perbedaan lainya adalah ukuran antara dua gedung tersebut Hotel Trio tidak melebihi 1 hektar tanah, sedangkan gedung yayasan pancasila cukup lebar karena bagian samping kanan dan kiri juga terdapat paviliun yang saling terhubung dengan conector ke rumah utama. Indische empire style dengan penggunaan voor veranda dan achter veranda pada gedung tersebut. Bagian dalam gedung layaknya sebuah gedung soocieteit pada masa Belanda, setelah memasuki ruang tamu dan berjalan menyusuri depan kamar lurus menuju ke achter veranda kita akan langsung di hadapkan dengan kebun belakang. 

Perbedaan bangunan ini dengan Hotel Trio juga bisa dilihat dari banyaknya jumlah pintu yang selain bertujuan untuk  akses keluar menuju teras samping juga untuk sirkulasi udara yang baik. Perjalanan dilanjutkan ke arah utara menuju ke Klenteng Tjioe Tik Kiong. Selama perjalanan kami kembali menemukan bangunan bergaya indische empire yang sudah beralih fungsi menjadi bengkel almari aluminium. Ketika kami sejenak beristirahat untuk melepas lelah, tanpa diduga di depan lokasi kami meluruskan kaki terdapat sepasang  rumah couple nan mungil yang berada di sudut perempatan jalan.

Rumah couple bertuliskan “Villa NGo”.
Sumber: dokumentasi pribadi.

Sesampainya di Klenteng Tjioe Tik Kiong kami disambut pertunjukan wayang potehi yang digelar dalam rangka perayaan Hari Kebesaran Kwan Kong. Setelah puas melihat wayang potehi, kamipun mulai masuk dan menikmati aroma khas hio yang selalu menyala untuk sarana ibadah umat Tridharma. Perlu diingat bahwa Klenteng selain berfungsi sebagai sarana ibadah bagi penganut Tridharma, juga merupakan salah satu sarana bersosialisasi antar masyarakat. 


Klenteng Tjio Tik Kong
Sumber: dokumentasi pribadi.

Akhirnya perjalanan menyusuri Omah Singa dan sarana pendukungnya yang lain  kami akhiri di Klenteng ini, kami harus segera kembali ke kota Malang dimana seorang kawan telah menunggu kedatangan kami (Petualangan kami di Kota Malang akan diceritakan di tulisan yang lain).  Pusat Kota Pasuruan sendiri masih menyimpan beberapa bangunan kolonial lainnya, seperti Soocieteiet “Harmonie” dan Stasiun Pasuruan Kota. Mayoritas bangunan peninggalan kolonial Belanda di Pasuruan berada di seputaran alun-alun, mengacu pada tata ruang kota tradisional Jawa.

Semoga saja bangunan kuno peninggalan kolonial tersebut dapat bertahan hingga waktu yang tidak ditetapkan dan tetap lestari di tangan generasi muda saat ini. Semua peninggalan di beberapa Kabupaten dan Kota di Indonesia tidak ada yang sama, disesuaikan dengan kondisi geografis dan kultur dalam masyarakat, sudah sepatutnya untuk dijaga untuk kajian-kajian lebih lanjut di masa yang akan datang.

Referensi

Anonim, 1915. Lijst van Ondernemimngen Nedherlandsch-Indie. Batavia: Landslukkerij.

Anonim, 1892. Lijst van Naamlooze Venootschappen in 1891. Nedherlandsch-Indie.

Maclaine Campbell, Donald. 1915. Java; Past & Present. London: William Heinemann.

Knight Robert. G, 2014. Sugar, Steam and Steel: The Industrial Porject in Colonial Java 1830-  1885. South Australia: University Adelaide Press.

Trace op De Grote Postweg Soerabaja. Jembatan Merah sebagai Jantung Utama Kota Tua Surabaya. Yang Tersisa dari Mahakarya Kolonalisme k...