Senin, 23 Oktober 2017

Saksi Bisu itu Berjuluk “Omah Singa”, Kediaman Terakhir sang Raja Gula dari Kabupaten Pasuruan.

Perkembangan Pasoeroean di awal abad Ke-19.

Awal abad ke-18 atau saat kebijakan cultuurestelsel digalakan oleh pemerintah kolonial Belanda pada masa pemerintahan Graff Johanees van den Bosch, banyak sekali bermunculan perkebunan tebu dan pabrik gula di seluruh Hindia Belanda. Hindia Belanda merupakan negara yang menjadi salah satu tujuan utama para saudagar Eropa dan Tionghoa untuk berdagang hasil perkebunan. Ini semua tidak terlepas dari kondisi geografis yang representatif untuk tinggal serta mendirikan sarana prasarana pendukung.

Alasan lain adanya cultuurstelsel atau tanam paksa ini untuk menutup kas negara yang kosong selama perang Diponegoro berkecamuk. Komoditas utama yang dihasilkan adalah gula, selain itu juga kopi, pewarna tekstil atau nila, dan kakao. Seiring dengan munculnya revolusi industri di Eropa mengakibatkan banyak perusahaan di Indonesia (Hindia Belanda)  mengganti tenaga kerja yang tadinya dikerjakan tenaga manusia menjadi tenaga mesin guna meningkatkan hasil produksi.

Pasuruan merupakan salah satu Kota di Hindia Belanda yang tidak luput dari kolonialisasi. Lokasi yang strategis, adanya pelabuhan dan akses ke beberapa kota di sekitarnya menjadi alasan utamanya. Kolonialisasi di Pasuruan ini dimulai tahun 1707 ketika Kongsi Dagang VOC mulai menempati wilayah jajahannya dan memulai pembangunan benteng bernama“De Wilde”. Belanda bukanlah pihak yang pertama kali melakukakan kolonialisasi di sini,  sebelumnya sudah ada kolonialisasi sebelumnya oleh pemerintah Inggris, meskipun populasi orang Eropa dani Inggris tidaklah banyak. Laporan tentara Inggris menggambarkan Pasuruan sebagai tempat yang cocok dengan cuaca yang menyehatkan. Kondisi tersebut membuat rumah residen dan beberapa bangunan pendukung lain dimulai segera didirikan pada tahun 1811 (Donald Macline Champbell. 1915; 497).

Pasuruan sampai saat ini dikenal sebagai “surganya pabrik gula”, meskipun banyak yang sudah mati bahkan dibongkar pada masa Clash II oleh pejuang Indonesia demi mencegah alih fungsi oleh tentara Belanda. Beberapa pabrik yang pernah berdiri di Kabupaten Pasuruan didasarkan atas arsip “Lijst van Naamlooze Venootschappen in 1891 Nedherlandsch-Indie diantaranya yakni:“Maatschappij tot exploitatie der Suikerfabriek Sempal Wadak”Malang, “Koffiecultuur Maatschappij Soember Djero”, “Koffiecultuur Maatschappij Donowari”, “Cultuur Maatschappij Madoeardjo” Amsterdam, “Cultuur Maatschappij Kali Bakar” s-Gravenhagen dan“Maatschappij tot Exploitatie van het land Wonokoijo” Amsterdam.

“Omah Singa” Kediaman Taipan China di Pasuruan.

Perjalanan awal menuju“pintu gerbang” kawasan pecinan di Kota Pasuruan baru dimulai, ketika adanya keinginan jelajah ke salah satu kota pesisir di Jawa Timur ini. Hanya saja pada peta buatan Belanda tahun 1934 kompleks pecinan tersebut tidak digambarkan secara jelas, hanya dijelaskan bahawa terdapat klenteng di pinggiran kota yakni Klenteng Tjioe Tik Kiong.

Peta Kota Pasuruan tahun 1934.Kawasan“Omah Singa” berdampingan dengan 
Kampung Kaoeman dan tepat di pinggiran kota.
Sumber: maps.library.leiden.edu.

Perjalanan diawali dari Kota Malang dengan menumpang bus antar kota menuju ke Surabaya. Kami turun di kawasan Kebon Agung tempat biasa penumpang arah Pasuruan turun dari bis, dilanjutkan perjalan sekitar 1 jam dengan jalan kaki menyusuri rindangnya pepohonan di sepanjang jalan dan harus bergantian dengan lalu lalang kendaraan. Awalnya kami disambut dengan gapura bergaya oriental khas Tionghoa yang ternyata memang gerbang masuk kompleks pemakaman Tionghoa atau biasa disebut dengan bong.

Gapura pemakaman Tionghoaatau bisa disebut dengan bong. Pada bagian atas lengkung pintu masuk terdapat ornamen dengan bunyi “pemakaman umum”.
Sumber: dokumentasi pribadi.

Mengacu dari peta tahun 1934 gapura ini berada di pinggiran kota, dan memang berada di kawasan pecinan. Gapura ini memang dahulunya adalah pintu masuk ke pemakaman elit Tionghoa, mengacu pada stratifikasi sosial masa kolonialisme di Indonesia. Dan gapura inilah awal mula perjalanan menyusuri pecinan di Pasuruan berawal. “Omah singa” begitu penjelasan dari sang penjaga rumah yang berhasil kami temui, ketika kami melakukan perjalanan menyusuri kawasan pecinan di Pasuruan yang kental akan bangunan bernuansa Tionghoa dan Eropa berdiri.

Paviliun bagian kiri dari rumah milik keluarga Kwie. Terlihat penggunaan ornamen patung singa yang sedang berkelahi dengan seekor ular di kaki depannya.
Sumber: dokumentasi pribadi.

Rumah utama sekaligus pintu utama rumah keluarga Kwie. Bagian depan rumah ini memang tidak ada ornamen patung kuda, tapi digantikan dengan patung dewi Yunani.
Sumber: dokumentasi pribadi.

Paviliun sebelah kanan dari rumah keluarga Kwie. Ornamen patung singa di depan paviliun ini berpose terbalik dari patung singa yang berada di paviliun kiri.
Sumber: dokumentasi pribadi.

Rumah ini memiliki tata ruang, rumah utama ada di tengah kemudian rumah samping kanan dan kiri berfungsi sebagai paviliun. Julukan tersebut didasarkan atas keberadaan dua patung singa yang didesain sedang berburu. Patung singa menandakan bahwa simbol salah satu negara  di Eropa yakni Belanda, dalam artian bahwa orang yang tinggal di rumah dengan patung singa bukan orang Belanda murni atau biasa disebut Indo-Belanda. Meskipun yang tinggal disana adalah orang Tionghoa, karena Tionghoa dan Belanda juga sama-sama memiliki status sosial tinggi. Tidak hanya rumah saja pemakaman milik orang elite Eropa dan Tionghoa juga ada yang menggunakan patung singa untuk hiasan makam.

Omah Singa ini menurut catatan sejarah amerupakan milik keluarga Han dan Kwie selaku raja gula di Pasuruan. Raja gula? Apa hubungan antara Pasuruan dan pabrik gula? Tentu saja didasarkan atas letak yang strategis dekat dengan pelabuhan, merupakan salah satu faktor didirikannya pabrik gula. Tanaman penghasil gula yakni tebu mudah tumbuh di daerah perkotaan dan daerah landai yang dekat sumber air guna mendapatkan hasil yang maksimal. Hampir setiap kota dan kabupaten di Indonesia memiliki setidaknya 2 pabrik gula, dan dalam pengelolaanya ditangan Eropa, Tionghoa dan juga elite Jawa (Kerajaan).

Kwie Liat Liem dan Han Thiam An adalah pemilik salah satu dari puluhan pabrik di Pasuruan, lebih tepatnya di bawah district Tengger pada tahun 1878 dengan nama pabrik “Bendo”. Selain di Tengger juga ada di Wangkal yang dikelola oleh N.V. Cultuurmaatschappij Randoe-Agoeng, o., A, G dan bernama pabrik “Randoe Agoeng” berdasar pada arsip Lijst van Onderneming Nedherlandsch-Indie. Seiring menurunnya produksi gula karena malaise atau kelesuan ekonomi melanda Indonesia tahun 1998, membuat banyak pabrik gula di Indonesia gulung tikar dan pabrik gula terlebih yang masih dapat bertahan diakuisisi oleh pemerintah Indonesia atau dengan kata lain nasionalisasi.

Sesaat setelah puas menikmati setiap detail dan ornamen dari Omah Singa, kami melanjutkan perjalanan ke gedung Yayasan Pancasila yang tepat berdiri di seberangnya. “Biasakan terlebih dahulu ijin, karena ini merupakan kunci untuk berkunjung” dan tepat sekali waktu yang kami ambil, yakni ketika halaman depan akan digunakan untuk pertandingan basket. Awalnya kami mengambil sudut dari depan lurus, karena cuaca terik dan rasa penasaran akan bagian dalam bangunan akhirnya kami menuju ke beranda depan rumah. Deretan colomn bernuansa doric yang khas menyambut kedatangan kami, dengan jumlah 8 colomn yang menjulang menunjukan bahwa ini kediaman milik saudagar kaya.

Salah satu rumah milik keluarga Han yang kini berubah menjadi Yayasan Pancasila.
Sumber: dokumentasi pribadi.

Gedung di dalam gambar ini biasa disebut dengan Lodge, kalimat lodge ini memiliki arti rumah be ar atau gedongan. Lodge biasa disebut sebagai rumah besar pastinya tidak cocok kalau tidak menggunakan tegel bermotif dan marmer layaknya rumah saudagar lainya. Bagian beranda depan atau voor veranda menggunakan tegel marmer yang diproduksi dari Surabaya, Semarang dan Batavia sedangkan bagian dalam menggunakan tegel motif.

Pernah bermalam di Hotel Trio Solo dekat Pasar Gede Hardjonagoro atau pernah melihatnya sekali?. Ya gedung “Yayasan Pancasila”ini memiliki konstruksi yang sama hanya saja terdapat beberapa perbedaan yang cukup kental. Hotel Trio memiliki konstruksi 2 lantai dan memiliki kamar 6 pada setiap lantai dengan ukuran cukup besar, sedangkan gedung Yayasan Pancasila memiliki konstruksi biasa layaknya rumah pribadi dan hanya memiliki 6 kamar.

Fasade depan gedung dengan deretan colom doric.
Sumber: dokumentasi pribadi.

Perbedaan lainya adalah ukuran antara dua gedung tersebut Hotel Trio tidak melebihi 1 hektar tanah, sedangkan gedung yayasan pancasila cukup lebar karena bagian samping kanan dan kiri juga terdapat paviliun yang saling terhubung dengan conector ke rumah utama. Indische empire style dengan penggunaan voor veranda dan achter veranda pada gedung tersebut. Bagian dalam gedung layaknya sebuah gedung soocieteit pada masa Belanda, setelah memasuki ruang tamu dan berjalan menyusuri depan kamar lurus menuju ke achter veranda kita akan langsung di hadapkan dengan kebun belakang. 

Perbedaan bangunan ini dengan Hotel Trio juga bisa dilihat dari banyaknya jumlah pintu yang selain bertujuan untuk  akses keluar menuju teras samping juga untuk sirkulasi udara yang baik. Perjalanan dilanjutkan ke arah utara menuju ke Klenteng Tjioe Tik Kiong. Selama perjalanan kami kembali menemukan bangunan bergaya indische empire yang sudah beralih fungsi menjadi bengkel almari aluminium. Ketika kami sejenak beristirahat untuk melepas lelah, tanpa diduga di depan lokasi kami meluruskan kaki terdapat sepasang  rumah couple nan mungil yang berada di sudut perempatan jalan.

Rumah couple bertuliskan “Villa NGo”.
Sumber: dokumentasi pribadi.

Sesampainya di Klenteng Tjioe Tik Kiong kami disambut pertunjukan wayang potehi yang digelar dalam rangka perayaan Hari Kebesaran Kwan Kong. Setelah puas melihat wayang potehi, kamipun mulai masuk dan menikmati aroma khas hio yang selalu menyala untuk sarana ibadah umat Tridharma. Perlu diingat bahwa Klenteng selain berfungsi sebagai sarana ibadah bagi penganut Tridharma, juga merupakan salah satu sarana bersosialisasi antar masyarakat. 


Klenteng Tjio Tik Kong
Sumber: dokumentasi pribadi.

Akhirnya perjalanan menyusuri Omah Singa dan sarana pendukungnya yang lain  kami akhiri di Klenteng ini, kami harus segera kembali ke kota Malang dimana seorang kawan telah menunggu kedatangan kami (Petualangan kami di Kota Malang akan diceritakan di tulisan yang lain).  Pusat Kota Pasuruan sendiri masih menyimpan beberapa bangunan kolonial lainnya, seperti Soocieteiet “Harmonie” dan Stasiun Pasuruan Kota. Mayoritas bangunan peninggalan kolonial Belanda di Pasuruan berada di seputaran alun-alun, mengacu pada tata ruang kota tradisional Jawa.

Semoga saja bangunan kuno peninggalan kolonial tersebut dapat bertahan hingga waktu yang tidak ditetapkan dan tetap lestari di tangan generasi muda saat ini. Semua peninggalan di beberapa Kabupaten dan Kota di Indonesia tidak ada yang sama, disesuaikan dengan kondisi geografis dan kultur dalam masyarakat, sudah sepatutnya untuk dijaga untuk kajian-kajian lebih lanjut di masa yang akan datang.

Referensi

Anonim, 1915. Lijst van Ondernemimngen Nedherlandsch-Indie. Batavia: Landslukkerij.

Anonim, 1892. Lijst van Naamlooze Venootschappen in 1891. Nedherlandsch-Indie.

Maclaine Campbell, Donald. 1915. Java; Past & Present. London: William Heinemann.

Knight Robert. G, 2014. Sugar, Steam and Steel: The Industrial Porject in Colonial Java 1830-  1885. South Australia: University Adelaide Press.

Kamis, 14 September 2017


Begraafplaats di pusat Kota Kabupaten Bojolali, saksi bisu keberadaan masyarakat Eropa di desa eks Karesidenan Surakarta.

Kabupaten Boyolali diam-diam menyimpan peninggalan dari masyarakat pedatang yang memberi warna khusus wilayah ini. Peninggalan baik dari masa kolonial maupun dari masa jauh sebelumnya kita dapat temukan di sini. Jangan dibayangkan peninggalan tersebut hanya berupa bangunan tempat tinggal dan sarana prasarananya semata, namun juga berbentuk makam milik keluarga Eropa yang “masih” beristirahat tenang di pusat Kota Kabupaten Boyolali. Walau banyak pihak meragukan kalau masih terdapat pemakaman Belanda di pusat kota terlebih Boyolali, namun keberadaan makam ini tentunya membantah asumsi tersebut.

Makam yang tenang di dalam lebatnya Hutan Kota
Saat pertama kali mencoba untuk menelisik makam milik Eropa yang ada di Boyolali, berbekal niat juga campuran antara kenekatan dan keisengan, akhirnya menemukan lengkap dengan prasasti yang masih menempel. Sayangnya hanya tertinggal 1 nisan yang masih ada prasastinya, sisanya sudah babak bundas dimakan usia dan tangan-tangan tak bertanggung jawab. Coba bayangkan apa yang anda rasakan ketika nisan milik leluhur anda dirusak oleh orang tak bertanggung jawab? Sila anda jawab sendiri.

Pusat kota awalnya merupakan pusat pemukiman dan aktivitas warga Eropa yang berkoloni di Kabupaten Boyolali. Tidak dapat dipungkiri berdirinya beberapa bangunan peninggalan kolonial tersebar di setiap sudut kota, dan membentuk pola pemukiman yang simetris. Konsep tersebut didasarkan atas teori struktur tata ruang kota tradisional, dimana alun-alun sebagai pusat kegiatan publik didukung dengan perkantoran dan tempat tinggal maupun soosieteiet untuk kalangan Eropa, Cina dan Elite pribumi.

Kabupaten Boyolali juga diterapkan sistem yang sama dengan alun-alun sebagai pusat kota, hanya saja karena alun-alun menjadi satu kesatuan dengan pesanggrahan milik SISKS Pakubuwana X maka alun-alun digantikan dengan gedung soscieteiet. Kondisi pusat kota di Boyolali berbanding terbalik dengan kabupaten lain di karesidenan Surakarta, hal ini terjadi bukan karena ada benteng Renovatum 1830 dan soscieteiet di tengah kota. Perbedaan ini justru dikarenakan adanya pemakaman untuk orang Belanda di Boyolali, dan merupakan areal makam yang paling tua. Makam Belanda tersebut dapat dikatakan mewah pada masanya, karena lokasinya yang tepat berada di timur benteng Renovatum menjadikan kompleks makam tersebut cukup tersembunyi.

Orang Eropa datang ke Hindia Belanda pada awalnya bertujuan untuk berdagang dan mencari rempah-rempah untuk diekspor ke negara Eropa untuk melunasi hutang pemerintah. Rempah-rempah yang dicari mayoritas berada dipulau Jawa dan Maluku yang kondisi geografisnya menguntungkan. Diapit oleh gunung dan bertanah subur merupakan kunci utama sukses melakukan budidaya rempah-rempah, dan tanaman penghasil nilai jual tinggi seperti tebu.

Tanaman bernilai jual tinggi tersebut diantaranya pala, kayu manis, dan merica. Rempah-rempah di Hindia Belanda terutama Jawa dan Maluku memiliki nilai jual yang tinggi karena tidak ditemukan di belahan dunia manapun. Seperti halnya pala dan kayu manis hanya dapat ditemukan di beberapa daerah di Indonesia dengan karakteristik yang berbeda. Bahkan jalur sutra atau jalur perdagangan dunia juga menyinggahi kepulauan nusantara demi mencari rempah-rempah yang tiada duanya ini.

Dengan alasan yang cukup mendasar inilah pemerintah Belanda menerbitkan peraturan yang biasa dikenal dengan undang-undang agraria demi memajukan usaha mereka dan para pemilik tanah. Adapun isi undang-undang tersebut diantaranya yakni perlindungan kepada pemilik tanah dari pemodal asing dan membuka peluang terhadap investor asing menyewa tanah. Inilah yang menjadikan beberapa orang Belanda mulai mendirikan rumah dan menikah dengan perempuan Jawa dan menjadi orang paling terpandang di masanya.

Alasan orang Eropa lebih memilih menikahi perempuan dari Jawa terutama keraton salah satunya adalah faktor politis. Dengan menikahnya para kalangan elit ini, kedua belah pihak sama-sama memiliki peran dan status sosial lebih tinggi. Juga menjadi petinggi pada perusahaan dan juga diakui lebih tinggi dalam masyarakat. Perusahaan milik Belanda di Hindia Belanda didirikan bukan hanya oleh orang Belanda sendiri, tetapi juga ada keterlibatan dari elite Jawa.

Status sosial lebih tinggi dan bergelimang harta ditunjukan tidak hanya pada kepemilikan perusahaan, perkebunan dan tempat tinggal saja melainkan juga jaminan untuk generasi berikutnya. Pernikahan antar warga Belanda dengan Jawa melahirkan dua kebudayaan yang berakulturasi pada masyarakat, selain itu juga memunculkan Indo-Belanda yakni keturunan dari perkawinan antara Belanda dan Jawa (Indonesia). Keberadaan anak Indo-Belanda ini di Indonesia cukup banyak dan menempati posisi yang cukup tinggi pada masa itu.

Seiring dengan datangnya koloni dari Timur Asing atau Oost Indie juga memberikan dampak yang cukup terhadap masyarakat. Perdagangan yang awalnya dikuasai oleh Belanda mulai bergeser seiring masuknya Cina dan Arab maka kerjasama merupakan jalan terbaik antar kedua belah pihak, dan kembali lagi selalu ada unsur politik yang mengiringinya.

Clara Hortensee Jüch, Karel Simon, Sinyo dan Noni
Ketiga nama yang saling berdampingan tersebut, adalah milik tiga orang berbeda dengan perbedaan status sosial berbeda pula. Nama beliau memang terdengar cukup asing dan secara otomatis kita terfikirkan bahwa mereka adalah orang Belanda yang menjajah negara kita. Jangan salah persepsi dulu tentang mereka karena ada salah satu makam dengan penjelasan bahwa dilahirkan di tanah jajahan atau Indonesia saat ini, siapa dan bagaimana bisa? Mangga disimak terus ....

“Mereka sudah beristirahat dengan tenang kenapa masih saja diusik ?!” mungkin itulah sebuah pepatah mengatakan kepada kita untuk saling menghargai dan menghormati. Bagaimana tidak, ketika saya melakukan penelusuran ke 3 makam tersebut sudah diingatkan warga untuk senatiasa untuk salam kepada mereka. Bukan karena apa-apa hanya saja untuk saling menjaga dan menghormati.

Bentuk makam yang ditemukan berbeda, ada yang berbentuk menyerupai tugu dan ada juga yang memiliki bentuk layaknya makam Belanda lainya yakni berbentuk kotak. Salah satu sudut makam yang  terletak di timur lapangan tenis diareal taman Kridanggo Boyolali ini  masih terdapat dudukan patung biasanya adalah patung dewi Romawi dan patung setengah badan orang yang dikebumikan disitu. Sayang sekali saat ini patung tersebut entah raib kemana, hanya saja yang jelas ada di suatu tempat entah di mana.

Makam pertama yang saya kunjungi sesaat setelah melihat dudukan patung tersebut adalah makam milik Clara Hortensee, bagaimana saya tahu? Karena masih terdapat keterangan siapa yang dikebumikan disini.

Makam Clara Hortensee Jüch.

Prasasti milik Clara Hortense Jüch.

Berdasar dari keterangan yang tertulis pada prasasti makam tersebut, apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berbunyi:
Disini Beristirahat
Saudara kita yang terkasih
CLARA HORTENSEE JüCH
Lahir di Bojolali 10 Juni. 1889
Meninggal di Purworedjo 
6 September. 1905.

Siapakah Clara Hortensee Jüch ini sebenarnya? Beliau adalah orang keturunan Jerman yang dilahirkan di Kabupaten Boyolali dan memiliki beberapa saudara perempuan dan laki-laki, salah satunya bernama Johannes Frederick Ferdinand Jüch. Mereka berdua dilahirkan di Boyolali tempatnya kurang lebih di daerah Bledog hanya saja di peta tahun 1930an nama Bledog tidak ditemukan,  yang ada nama Ngledog di pinggiran kota.

Iklan meninggalnya Clara Hortense Jüch, dalam daftar almanak/catatan balai kota.
Source: www.imexbo.nl.

Prasasti milik Minah Jüch (Wilhelmina) dan Johannes Frederick Ferdinand Jüch.
Source: Roemah Toea.

Johannes Frederick Ferdinand Jüch dilahirkan di Bledog Boyolali 6 Desember 1870, kemudian menikah dengan seorang wanita Jawa bernama Minah yang lahir di Brosot Yogya dan mengganti nama Minah mejadi Wilhelmina. Pada akhir hayatnya nama Minah kembali digunakan ditambah marga Jüch, sehingga menjadi Minah Jüch.


Minah Jüch
Geboren op 6 Deember 1879 te Brosot
Overl: 14 Juni 1967
Hier Rust
Johannes Frederick Ferdinand Jüch.
Geboren op 6 Desember 1870 te Bledoog (Bojolali).
Overl te Brosot: 23 Februarij 1940.

Kembali lagi ke kompleks makam Belanda yang ada di Kabupaten Boyolali, tepat di sisi timur makam Clara Hortensee juga terdapat makam lainnya. Disini saya menemukan 2 prasasti dari 2 makam berbeda, terdapat prasasti yang makamnya sudah hilang dan diletakan begitu saja diatas makam lain. Makam milik Karel Simon merupakan makam kedua yang ditemukan dan seperti biasa, prasasti asli milik Karel raib entah kemana.

Seperti yang sudah saya jelaskan bahwa ditemukan prasasti milik makam yang sudah hilang di atas makam lain, dan hal ini saya temukan ketika mencoba untuk mencari informasi tentang siapa Karel Simon ini. Prasasti milik Karel cenderung berbentuk persegi panjang, sedangkan prasasti lainya berbentuk segi enam. Perlu diingat juga bahwa makam Belanda pasti terdapat nomor makam untuk memudahkan pengidentifikasian oleh keluarga.

Makam Karel Simon.
Prasasti milik makam yang sudah tidak diketahu rimbanya.

Adapun bunyi prasasti yang berada di atas pusara Karel Simon tersebut berbunyi:

Hier Rust.
(Nama orang berhuruf Jepang)
Geboren den. 13e Mei 1798.
Overleden den. 14 Februarij
1885.

Hingga kini belum diketahui secara jelas siapa yang namanya diabadikan pada prasasti tersebut, yang jelas satu komplek begraafplaats ini tidak hanya dihuni orang Belanda dan Tionghoa saja melainkan juga orang Jepang. Begraafplaats pada umumnya tidak hanya berbentuk kompleks makam seperti biasa, tetapi dihias sesuai dengan tingkat sosial yang dikuburkan. Penggunaan tanaman hias, patung dewi Yunani dan patung orang berpengaruh menjadi pertanda bahwa ini bukan pemakaman biasa.

Hiasan yang dulunya menghiasi areal pemakaman di Boyolali tersebut saat ini sudah hilang entah kemana dan hanya meninggalkan pondasi dudukan patung. Setelah saya dekati seharusnya ada semacam prasasti yang menunjukan apa ini dulunya, dudukan patung atau fungsi lainya.

Dudukan patung sebagai hiasan pemakaman.

Setelah mengelilingi 2 titik makam Belanda milik Clara Hortensee Jüch dan Karel Simon, saya melanjutkan perjalanan menuju ke nisan Noni dan Sinyo. Sebelumnya saya bingung dengan siapa itu “noni” dan “sinyo”, dan ternyata itu adalah panggilan untuk anak perempuan dan laki-laki keturunan Belanda. Apa yang saya cari akhirnya ditemukan dengan kondisi berubah wujud menjadi trotoar, lantas mana nisannya?. Ya terkubur di bawah trotoar tersebutlah noni dan sinyo berada.

Akhirnya selesailah penjelajahan saya guna mencari jejak makam Belanda di pusat Kota Kabupaten Boyolali. Meski dalam kondisi kurang terawat untungnya masih ada yang bertahan hingga saat ini. Harapan saya bahwa suatu saat keluarga dan anak cucunya dapat menyaksikan bahwa nenek moyangnya dahulu hidup dan tinggal di Kabupaten Boyolali. Selain itu juga menambah wawasan bahwasa Boyolali tidak hanya berfungsi sebagai jalan utama, tetapi juga sebagai pemukiman yang sangat strategis.


Referensi
http://www.imexbo.nl/jogja-kerkhof-deel-2.html. Clara Hortense Jüch een Familie.
http://www.imexbo.nl/moentilan.html. Clara Hortense Jüch.

Senin, 04 September 2017

Sang Mahakarya dari Oengaran: Gedong Koening,

Saksi Bisu yang Membisu.




Pembuka
Ungaran kota kecil yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Semarang ini menyimpan beberapa harta karun terpendam yang masih jarang mendapat perhatian dari masyarakat dan para pelancong dari luar kota. Beberapa diantara harta karun yang tersembunyi di Kota Ungaran adalah Benteng Willem II yang sekarang menjadi asrama polisi Ungaran, sekolahan, kantor, tempat hiburan atau soos (societeiet) hingga rumah-rumah pribadi. Tulisan kali ini saya akan coba membahas keberadaan rumah berjuluk Gedong Koening  yang cukup tersohor saat ini.

Ungaran Tempo Doeloe
Periode Hindu merupakan awal mula Ungaran disebut-sebut sebagai cikal bakal sebuah Kota. Masa itu terdapat tiga jalur utama menuju kerajaan besar yang berlokasi di Jawa Timur saat ini. Jalur tersebut diantaranya melalui Jepara yang merupakan kota pelabuhan, dan jalur lainnya melalui Srondol, Ungaran, Salatiga dan Boyolali. Jalur utama adalah melalui Tegal dan Banyumas, tetapi dengan kondisi jalan yang cukup terjal, membutuhkan waktu 12 hari untuk mencapai Ibukota Kerajaan. Jalur ketiga dan terakhir adalah Blambangan yang saat ini menjadi bagian dari Banyuwangi dan diakhiri di Pasoeroean dan Kediri. 

Kota Ungaran berada tepat diantara dua Kota yakni Semarang dan Salatiga, Tepatnya berada di antara Srondol, Semarang dan Salatiga. Ketiga kota ini memiliki ikatan sejarah yang cukup kental dan berkesinambungan, yakni kedatangan militer Belanda dan pertemuan antara pihak Belanda dengan Sinuhun Pakubuwana II selaku raja Keraton Kartasura.

Awal mula Belanda memulai kolonisasi di pedalaman Jawa. Desa-desa yang letaknya strategis dan berada di sepanjang jalur Semarang-Surakarta dijadikan sebagai basis militer  juga  tempat peristirahatan. Pengamanan jalur transportasi yang awalnya masih berupa jalan berpasir tanpa adanya pengamanan dari pihak Belanda, mengakibatkan Belanda mulai menempatkan pasukannya di beberapa desa guna mengamankan jalur. Ketika Gubernur Jenderal Gustave Willem Baron van Imhoff melakukan perjalan ke Jawa tahun 1746, beliau memulai perjalanan dari Semarang untuk mengunjungi Kerajaan Mataram melalui Ungaran untuk bertemu dengan Susuhunan Pakubuwana II (Campbeel. 1915: 486).

Keistimewaan Ungaran adalah  bertipe kota militer, ditandai dengan didirikanya benteng pada tahun 1746 bernama “De Outmoeting”, yang digunakan sebagai tempat rapat antara Gubernur Jenderal Barron van Imhof dengan Sunan Pakubuwana II. Kerjasama antara kedua pihak ini tidak bisa dilepaskan dari peristiwa geger pecinan tahun 1742. Peristiwa tersebut merupakan salah satu dampak yang dari meningkatnya kedatangan orang Tionghoa ke Batavia, mengakibatkan orang Tionghoa yang berhasil masuk Semarang dan sekitarnya memberontak ke pihak Belanda yang waktu itu diwakili oleh VOC (Tim Penyusun. 2012: 116).

Referensi pendukung berupa majalah dan koran terbitan jaman Belanda, juga mengungkapkan bahwa Ungaran dahulu bernama Oenarang yang merupakan jalur utama menuju Kerajaan Mataram. Dijelaskan juga terdapat benteng yang digunakan sebagai pusat pertemuan antara Eropa, Jawa dan Tionghoa. Sehingga  ketika peristiwa geger pecinan atau penyeranggapan Sunan Kuning dibantu kompeni terhadap Kraton Kartasura terjadi Ungaran memiliki andil yang cukup besar.

Kehidupan di Ungaran masa itu mayoritas dihuni oleh bangsa Eropa yang bekerja di sektor pemerintahan dan swasta, antara lain sebagai detasemen kepolisian, militer, pemilik perkebunan dan perusahaan. Hal ini semakin kental semenjak munculnya Undang-Undang Agraria yang menyebutkan pemilik modal dan usaha diberikan hak untuk menguasai perusahaan masing-masing. Dengan dibukanya kesempatan investor swasta untuk menamkan modal munculah perkebunan milik Eropa dan Cina disekitarnya, sehingga munculah beberapa nama firma Eropa dan Cina penguasa perkebunan.

Keberadaan Ungaran yang terletak persis di jalan raya pos atau jalan daendels dengan iklim yang cocok untuk perkebunan, mengakibatkan Ungaran memiliki hamparan perkebunan penghasil nilai export tinggi di dunia saat itu. Ungaran yang sarat akan sumber daya alam dan bernilai tinggi adalah salah satu alasan pendirian perkebunan penghasil komoditi berupa kopi, teh dan pala. 

Jejak Keberadaan Gedong Koening

Peta kompleks Gedong Koening Ungaran, terlihat terdapat areal perkebunan Kalidodol dengan simbol Og. Kalidodol dari peta tahun 1924. Sumber: maps.library.leiden.edu.

Keberadaan gedung ini tidak bisa dilepaskan dari adanya beberapa perkebunan di sekitar Ungaran diantaranya adalah kopi, kina, cokelat, dan kapuk yang masing-masing dimiliki perusahaan asing misalnya adalah Go Boen Kwan. Berdasarkan buku Lijst van Ondernemingen in Nedherlandsch Indie 1914, Batavia Landsrukkerij administrateur perusahan di bidang perkebunan tersebut diantaranya yakni  Ch F Houtman 5 September 1911 dan H Bosch 14 Juli 1911 (Anonim. 1914: 197).

Bercerita tentang Gedong Kuning yang berdiri sekitar tahun 1916-berdasarkan inkrispi yang ada-tidak bisa dilepaskan dari beberapa faktor diantaranya, lokasi yang strategis untuk mengembangkan bisnis berupa perkebunan dan suasana yang sejuk karena berada di kaki gunung Ungaran. Bangunan yang berdiri megah ditengah ramainya jalan raya Semarang-Solo ini, bisa dikatakan tidak menyerah menghadapi kerasnya jaman.

Warna kuning pudar yang mencolok seakan menarik perhatian bagi penikmat bangunan kuno. Akan tetapi untuk dapat memasuki wilayahnya harus ekstra hati-hati karena akses masuk mendekat cukup sulit, namun ketika dilihat dari dekat kesan yang ditangkap adalah "luar biasa". Sehingga hipotesis saya Gedong Kuning ini awalnya merupakan rumah peristirahatan bagi administrateur perkebunan sekaligus societeiet bagi tuan dan nyonya kulit putih, akan tetapi hipotesis ini masih perlu kajian lebih lanjut.

Jelajah Gedong Koening Oenarang
Kunjungan pertama saya ke Gedong Kuning Ungaran ini pada tahun 2014 dalam perjalanan menuju Semarang bersama seorang teman dari Boyolali. Butuh waktu kurang lebih 1 jam perjalanan untuk menuju lokasi, dan satu jam berikutnya kami habiskan untuk berkeliling dan berbincang dengan penduduk setempat. 

Kondisi fisik Gedong Koening Oenarang dengan sisa kejayaan di masanya. Terlihat warna tembok yang masih asli dari dulunya hingga saat ini, dan penggunaan dormer atau jendela diatas genting dengan tujuan mensirkulasi udara di atas plafond supaya tidak panas bagi penghuninya.

Saat kunjungan pertama tersebut,  kami disambut oleh beberapa keluarga purnawirawan TNI yang dengan senang hati menceritakan tentang masa lalu dan kondisi terkini bangunan berjuluk Gedong Kuning ini. Meskipun kondisi atap utama yang berupa balkon-balkon kecil di puncak terlihat mulai roboh, namun secara fisik bangunan bisa dikatakan masih cukup kokoh. Kerusakan atap tersebut lebih banyak disebabkan oleh faktor cuaca dan tentu saja usia. Saat itu, warga yang kami temui tidak banyak bercerita tentang kepemilikan bangunan tersebut dengan alasan keamanan.

Warga menyakini bahwa gedong ini dahulunya digunakan sebagai rumah tinggal keluarga Belanda, dan digunakan juga sebagai societeiet  warga kulit putih yang berkoloni di Ungaran. Lantas apakah bangunan ini memang layak  digunakan sebagai kamar bola? Jawaban itu akan ditemukan dalam perjalanan menyusuri “organ dalam” Gedong Kuning ini.

Dengan bantuan dan ijin dari  RT setempat serta pengawalan dari  keluarga purnawirawan militer, saya memberanikan diri masuk ke dalam ruangan dan betul saja apa yang diceritakan ke saya. Cerita tersebut masuk akal karena bagian dalam cukup lebar dan bisa untuk melakukan pesta, sedangkan lantai dua digunakan sebagai kamar tidur dan balkon untuk merokok, minum liquor dan menikmati udara sejuk. Pemandangan yang langsung menghadap gunung Ungaran dan perkebunan menambah kesan mewah pada masa itu.

Kondisi dari balkon lantai dua sisi selatan, menghadap ke timur dan terlihat jarak antara rumah dan jalan raya utama di batasi oleh lapangan sepak bola.

Kondisi tersebut membuka kemungkinan fungsi lain dari balkon adalah untuk menikmati pertandingan sepak bola atau latihan militer. Sama dengan kondisi Pura Mangkunegaran Solo yang dilengkapi dengan pamedan untuk latihan perang pasukan Kavalerie Artileri. Sayang kondisi balkon di sisi utara dan timur cukup sulit diakses, akan tetapi fungsi balkon di utara sama halnya dengan balkon sisi selatan.

Menariknya lagi pemandangan dari dua balkon yakni utara dan selatan, dapat mengawasi gerak-gerik pekerja di perkebunan belakang rumah. Perkebunan yang dimaksud di sini adalah perkebunan kopi, kapuk dan tanaman bernilai jual tinggi untuk melunasi utang-utang pemerintah. Dapat dikatakan bahwa perkebunan di sekitarnya, juga memiliki hubungan yang penting dengan sang gedung.

Setelah puas menikmati udara sejuk dari balkon lantai dua kami melanjutkan perjalanan menuju bagian dalam lantai dua, dan mencoba membayangkan kondisi awalnya gedong ketika masih berfungsi baik dan ditempati para meneer dan noni melalui selasar dan inter connector antar ruang.


Salah satu ruang kamar yang disinyalir adalah kamar untuk menyimpan perhiasan dengan ukuran 4x3 meter, dengan satu jendela untuk sirkulasi udara.

Setelah selesai memasuki ruang pertama, rasa penasaran saya semakin besar dan pak RT yang juga ikut penasaran akhirnya kami memberanikan diri lihat ruang lainya. Pada waktu itu kami layaknya pemilik rumah yang sedang menikmati rumah pribadi, bahkan warga lain yang sebenarnya penasaran hanya berani melihat dari luar rumah. Bau apek dan puing-puing yang berserakan membuat saya berfikir dua kali untuk berlama-lama di dalam kamar, yang ditakutkan  adalah kayu reng dan usuknya sudah tidak kuat dan bisa patah sewaktu-waktu. Saya jadi tahu mengapa tidak ada warga yang menggunakan gedung utama sebagai rumah mereka selama ini, yakni takut tertimpa kayu ataupun takut seandainya lantainya ambrol, jadi sebenarnya ketakutan mereka cukup masuk akal. 

Dua jendela dalam satu ruang kamar, mungkin itulah gambaran yang cocok ketika melihat kondisi tersebut. Dan pada dasarnya itu adalah satu kamar.

Berjarak satu pintu dari kamar pertama, kami menemukan ruangan dengan ukuran lebih besar dari ruangan tadi. Sekilas ruangan tersebut lebih cocok untuk kamar tidur utama, selain itu ada lagi ruang tidur besar lainnya. Jadi terdapat dua ruang kamar utama di lantai dua dan satu kamar berukuran lebih kecil. Diantara kamar tersebut terdapat ruang dengan aksen pintu menuju ke balkon lantai dua.

Ciri rumah jaman kolonial terdapat pintu tambahan yang digunakan untuk berpindah dari satu ruang ke ruang lain, juga ditemukan di gedong ini. Yang menambah rasa takjub kami adalah di salah satu pintu di lantai dua terdapat balkon kecil berbentuk setengah lingkaran yang menghadap ke dalam, setelah ditelaah lebih lanjut, ini adalah tempat khusus untuk pemilik rumah ketika mengadakan pesta.

Ruang dengan daun pintu ini bukanlah kamar, akan tetapi itulah akses menuju ke balkon utara. Dan ini adalah ruang jamuan sebelum menyaksikan pemandangan.

Kondisi balkon utara terlihat adanya ruangan sebelum menuju ke balkon.


Kondisi salah satu kamar lainya dengan kondisi sama.


Kondisi selasar menuju ruang kamar dan akses menuju ke balkon saat ini.

Selasar utama di lantai dua kondisinya sangat memprihatinkan karena cukup lama dibiarkan kosong dan dihuni oleh kelelawar. Keberadaan kelelawar ini semakin mempercepat proses kerusakan yang ditimbulkan oleh kotoran mereka. Bagian kanan terlihat model pilar dengan pembatas berupa tembok bata setinggi 70 cm tersebut adalah pembatas antara lantai dua dan lantai satu dan fungsi lainnya adalah untuk menyaksikan aktivitas yang terjadi di bawah dari depan kamar. Setelah puas menyaksikan kemegahan rumah ini dari lantai dua, demi keamanan bersama kami memutuskan segera turun.


Kondisi lantai 1 rumah. Jangan berfikiran itu lantai tegel,itu sejatinya adalah kotoran kelelawar yang memenuhi lantai. 

Peringatan mulai muncul dari si Bapak: “alon-alon wae ya mas, aku wedine nek ambrol opo pothol, karo mlakune kaya mau ya, idaken kayu sing tak idak ojo midak liane”. Kalau di bahasa Indonesia maksudnya adalah  “hati-hati saja ya mas, saya takutnya kalau patah, dan jalannya seperti tadi ya, injaklah kayu yang saya injak jangan menginjak kayu lain”. Kenapa? Mungkin itu yang akan muncul pertanyaan, dan alasannya adalah ketika kami mencoba naik ke lantai dua, pijakan yang bisa digunakan hanyalah selebar  satu bilah papan kecil dan kalau salah injak dijamin akan terkena kotoran kelelawar.

Bagian lantai ternyata 1 juga tidak kalah berbahaya. Beberapa titik sudah tidak memungkinkan untuk dilewati dan kondisi fisiknya yang semakin rapuh membuat nampak semakin memprihantinkan. Jangan pernah berpikir di lantai 1 ini kami bisa lebih leluasa bergerak.  Karena ubin  di lantai 1 sudah dipenuhi kotoran kelelawar, ditambah dengan kelembaban tinggi menjadikan suasana semakin pengap. Layaknya kayu kering yang sudah tidak berdaun tinggal menunggu roboh, itu yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisinya saat ini.


Bekas akses pintu menuju halaman utara gedung. Seharusnya terdapat kaca patri sebagai jalan masuk cahaya kedalam rumah,tetapi saat ini sudah hilang.

Kemegahan yang masih bertahan entah hingga kapan waktu menentukan, apakah akan hilang dan menjadi puing? Hanya waktu yang bisa menjawab.


Tangga akses menuju lantai dua yang hingga kini masih bertahan meskipun mengalami kerusakan dibeberapa sudut dan sudah tidak layak pakai.


Salah satu sudut pintu keluar rumah, tampak terang karena setengah atapnya sudah runtuh.

Setelah puas mengelilingi bagian dalam rumah, pak RT mulai meninggalkan saya dan mempersilahkan untuk melanjutkan berkeliling seorang diri. Meskipun pada bagian dalam menunjukkan kerusakan di sana sini, akan tetapi  kondisi di bagian luar sedikit berbeda. Beberapa bagian masih terlihat utuh bahkan hingga ke bagian detil ornamen yang sangat menunjukan kewibawaan pemilik Gedong ini. 

Oiya, saya hampir  lupa menjelaskan  bahwa tuan dan nyonya Belanda dalam beraktifitas sehari-hari terutama di lingkungan tempat tinggal, pasti tidak bisa dilepaskan dari keberadaan jongos yang diambil dari masyarakat biasa. Pembagian kerja disesuaikan dengan pendidikan dan stratifikasi sosial, dimana perempuan bekerja pada sektor domestik seperti memasak, menyiapkan sarapan, dan memenuhi segala kebutuhan tuan dan nyonyanya. Sedangkan laki-laki lebih banyak bekerja sebagai tukang kebun, namun tak jarang juga membantu menghidangkan makanan.


Fasade depan Gedong Kuning Ungaran saat sebelum bagian puncaknya roboh.


Fasade depan Gedong Kuning Ungaran sesaat setelah bagian puncaknya roboh tahun 2016.

Meskipun kondisi Gedong Kuning kian lama semakin mengkhawatirkan, akan tetapi hingga saat ini bukti kewibawaan dan kemewahan masa lalu masih dapat disaksikan hingga saat ini. Banyak yang tidak menyadari akan bukti-bukti lain selain fisik bangunan sendiri. Arsitek kenamaan Belanda ataupun Tionghoa dalam mendirikan bangunan pasti memberikan sentuhan detail artistik pada bangunan yang dirancangnya, hal inilah yang menambah kesan mewah dari sang pemilik rumah dan arsitek.


Sudut tembok yang dihias dengan wajah Singa.

Relief berbentuk wajah singa, merupakan sebuah perlambangan salah satu negara. Jelaslah bahwa relief wajah singa tersebut merupakan lambang negara Belanda di bawah Ratu Wilhelmina sehingga bisa diidentifikasi bahwa orang yang tinggal dan atau dimakamkan dengan lambang-lambang tertentu seperti singa ini berarti dia memiliki kontribusi yang besar kepada Pemerintah Belanda, baik berkebangsaan Belanda atau yang lain, bahkan Timur Asing. 


Salah satu model jendela dengan hiasan floral menjuntai kebawah menambah kesan mewah.

Selain relief wajah singa di sudut bangunan, juga terdapat hiasan lain yang menempel pada fisik gedong kuning. Hiasan tersebut terdapat pada daun jendela di segala penjuru rumah. Sepintas memang tampak biasa akan tetapi setelah diamati lebih teliti terdapat ornamen flora yang menjuntai kebawah. Akan tetapi entah kebetulan atau tidak hiasan tersebut juga menyerupai bagian “pribadi” perempuan. Beberapa jendela dan pintu memiliki hiasan yang serupa hanya saja berbeda ukuran dan detailnya.


“1916_Ende Desespereert_Nimmer_1918”.

Plakat bertuliskan sebuah kalimat “1916_Ende_Desespereert_Nimmer_1918” inilah yang sebenarnya paling mencolok dari gedung ini sendiri, lokasinya cukup tersembunyi di sebelah selatan gedung menjadikan kerahasianya semakin terjaga. Adapun arti dari plakat tersebut berbunyi "akhir dari sesuatu yang tidak pernah berakhir".

Perjalanan sejarah Gedong Kuning ini tidak serta merta halus layaknya rumah tinggal masa kini. Saat Jepang berkuasa di tanah ini pastinya juga membawa dampak tersendiri. Krisis yang terjadi diikuti dengan pengalihfungsian layaknya gedung milik Belanda, juga mereka yang tadinya tinggal dipindahkan ke kamp konsentrasi ataupun dipaksa kembali ke Negeri Belanda. Dua opsi itulah yang diberikan Jepang terhadap Belanda demi menguasai apa yang sudah ada dan tersedia.


Kondisi awal tahun 2017 bagian atap rubuh seperti yang ada di dalam foto dan kegiatan disekitar rumah semakin dijaga.

Rasa kagum dan miris melebur menjadi satu ketika melihat bangunan ini dari sudut lapangan Mengapa demikian? Miris sekali melihat kondisi fisiknya bangunan yang masih bertahan dengan tingkat kerusakan yang ada. Andaikan gedung ini di revitalisasi pastinya akan tampak kembali kemegahan gedung ini, dan pastinya akan memberikan nilai lebih terhadap Ungaran dan pemilik gedung. Hipotesis saya ini gedung bukan sembarang gedung akan tetapi gedung multifungsi pada jamannya, seperti halnya societeiet atau bahkan rumah singgah para pemilik perusahaan. Dengan konstruksi seperti yang dijelaskan beberapa fungsi tersebut dapat digunakan sebagai kajian selanjutnya.

Yah.. selesailah perjalanan kita diseputaran Gedong Kuning Ungaran yang kondisinya bagaikan “hidup segan mati enggan”, dan semoga saja ada perhatian khusus untuk si kuning yang memudar ini secepatnya.


Referensi
Anonim. Lijst van Ondernemingen in Nedherlandsch Indie 1914. Batavia: Landsrukkerij.

Tim Penyusun, 2012. Forts In Indonesia. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Maclaine Campbeel, Donald, 1915. Java Past and Present, London: William Heinemann.

Trace op De Grote Postweg Soerabaja. Jembatan Merah sebagai Jantung Utama Kota Tua Surabaya. Yang Tersisa dari Mahakarya Kolonalisme k...