Kamis, 14 September 2017


Begraafplaats di pusat Kota Kabupaten Bojolali, saksi bisu keberadaan masyarakat Eropa di desa eks Karesidenan Surakarta.

Kabupaten Boyolali diam-diam menyimpan peninggalan dari masyarakat pedatang yang memberi warna khusus wilayah ini. Peninggalan baik dari masa kolonial maupun dari masa jauh sebelumnya kita dapat temukan di sini. Jangan dibayangkan peninggalan tersebut hanya berupa bangunan tempat tinggal dan sarana prasarananya semata, namun juga berbentuk makam milik keluarga Eropa yang “masih” beristirahat tenang di pusat Kota Kabupaten Boyolali. Walau banyak pihak meragukan kalau masih terdapat pemakaman Belanda di pusat kota terlebih Boyolali, namun keberadaan makam ini tentunya membantah asumsi tersebut.

Makam yang tenang di dalam lebatnya Hutan Kota
Saat pertama kali mencoba untuk menelisik makam milik Eropa yang ada di Boyolali, berbekal niat juga campuran antara kenekatan dan keisengan, akhirnya menemukan lengkap dengan prasasti yang masih menempel. Sayangnya hanya tertinggal 1 nisan yang masih ada prasastinya, sisanya sudah babak bundas dimakan usia dan tangan-tangan tak bertanggung jawab. Coba bayangkan apa yang anda rasakan ketika nisan milik leluhur anda dirusak oleh orang tak bertanggung jawab? Sila anda jawab sendiri.

Pusat kota awalnya merupakan pusat pemukiman dan aktivitas warga Eropa yang berkoloni di Kabupaten Boyolali. Tidak dapat dipungkiri berdirinya beberapa bangunan peninggalan kolonial tersebar di setiap sudut kota, dan membentuk pola pemukiman yang simetris. Konsep tersebut didasarkan atas teori struktur tata ruang kota tradisional, dimana alun-alun sebagai pusat kegiatan publik didukung dengan perkantoran dan tempat tinggal maupun soosieteiet untuk kalangan Eropa, Cina dan Elite pribumi.

Kabupaten Boyolali juga diterapkan sistem yang sama dengan alun-alun sebagai pusat kota, hanya saja karena alun-alun menjadi satu kesatuan dengan pesanggrahan milik SISKS Pakubuwana X maka alun-alun digantikan dengan gedung soscieteiet. Kondisi pusat kota di Boyolali berbanding terbalik dengan kabupaten lain di karesidenan Surakarta, hal ini terjadi bukan karena ada benteng Renovatum 1830 dan soscieteiet di tengah kota. Perbedaan ini justru dikarenakan adanya pemakaman untuk orang Belanda di Boyolali, dan merupakan areal makam yang paling tua. Makam Belanda tersebut dapat dikatakan mewah pada masanya, karena lokasinya yang tepat berada di timur benteng Renovatum menjadikan kompleks makam tersebut cukup tersembunyi.

Orang Eropa datang ke Hindia Belanda pada awalnya bertujuan untuk berdagang dan mencari rempah-rempah untuk diekspor ke negara Eropa untuk melunasi hutang pemerintah. Rempah-rempah yang dicari mayoritas berada dipulau Jawa dan Maluku yang kondisi geografisnya menguntungkan. Diapit oleh gunung dan bertanah subur merupakan kunci utama sukses melakukan budidaya rempah-rempah, dan tanaman penghasil nilai jual tinggi seperti tebu.

Tanaman bernilai jual tinggi tersebut diantaranya pala, kayu manis, dan merica. Rempah-rempah di Hindia Belanda terutama Jawa dan Maluku memiliki nilai jual yang tinggi karena tidak ditemukan di belahan dunia manapun. Seperti halnya pala dan kayu manis hanya dapat ditemukan di beberapa daerah di Indonesia dengan karakteristik yang berbeda. Bahkan jalur sutra atau jalur perdagangan dunia juga menyinggahi kepulauan nusantara demi mencari rempah-rempah yang tiada duanya ini.

Dengan alasan yang cukup mendasar inilah pemerintah Belanda menerbitkan peraturan yang biasa dikenal dengan undang-undang agraria demi memajukan usaha mereka dan para pemilik tanah. Adapun isi undang-undang tersebut diantaranya yakni perlindungan kepada pemilik tanah dari pemodal asing dan membuka peluang terhadap investor asing menyewa tanah. Inilah yang menjadikan beberapa orang Belanda mulai mendirikan rumah dan menikah dengan perempuan Jawa dan menjadi orang paling terpandang di masanya.

Alasan orang Eropa lebih memilih menikahi perempuan dari Jawa terutama keraton salah satunya adalah faktor politis. Dengan menikahnya para kalangan elit ini, kedua belah pihak sama-sama memiliki peran dan status sosial lebih tinggi. Juga menjadi petinggi pada perusahaan dan juga diakui lebih tinggi dalam masyarakat. Perusahaan milik Belanda di Hindia Belanda didirikan bukan hanya oleh orang Belanda sendiri, tetapi juga ada keterlibatan dari elite Jawa.

Status sosial lebih tinggi dan bergelimang harta ditunjukan tidak hanya pada kepemilikan perusahaan, perkebunan dan tempat tinggal saja melainkan juga jaminan untuk generasi berikutnya. Pernikahan antar warga Belanda dengan Jawa melahirkan dua kebudayaan yang berakulturasi pada masyarakat, selain itu juga memunculkan Indo-Belanda yakni keturunan dari perkawinan antara Belanda dan Jawa (Indonesia). Keberadaan anak Indo-Belanda ini di Indonesia cukup banyak dan menempati posisi yang cukup tinggi pada masa itu.

Seiring dengan datangnya koloni dari Timur Asing atau Oost Indie juga memberikan dampak yang cukup terhadap masyarakat. Perdagangan yang awalnya dikuasai oleh Belanda mulai bergeser seiring masuknya Cina dan Arab maka kerjasama merupakan jalan terbaik antar kedua belah pihak, dan kembali lagi selalu ada unsur politik yang mengiringinya.

Clara Hortensee Jüch, Karel Simon, Sinyo dan Noni
Ketiga nama yang saling berdampingan tersebut, adalah milik tiga orang berbeda dengan perbedaan status sosial berbeda pula. Nama beliau memang terdengar cukup asing dan secara otomatis kita terfikirkan bahwa mereka adalah orang Belanda yang menjajah negara kita. Jangan salah persepsi dulu tentang mereka karena ada salah satu makam dengan penjelasan bahwa dilahirkan di tanah jajahan atau Indonesia saat ini, siapa dan bagaimana bisa? Mangga disimak terus ....

“Mereka sudah beristirahat dengan tenang kenapa masih saja diusik ?!” mungkin itulah sebuah pepatah mengatakan kepada kita untuk saling menghargai dan menghormati. Bagaimana tidak, ketika saya melakukan penelusuran ke 3 makam tersebut sudah diingatkan warga untuk senatiasa untuk salam kepada mereka. Bukan karena apa-apa hanya saja untuk saling menjaga dan menghormati.

Bentuk makam yang ditemukan berbeda, ada yang berbentuk menyerupai tugu dan ada juga yang memiliki bentuk layaknya makam Belanda lainya yakni berbentuk kotak. Salah satu sudut makam yang  terletak di timur lapangan tenis diareal taman Kridanggo Boyolali ini  masih terdapat dudukan patung biasanya adalah patung dewi Romawi dan patung setengah badan orang yang dikebumikan disitu. Sayang sekali saat ini patung tersebut entah raib kemana, hanya saja yang jelas ada di suatu tempat entah di mana.

Makam pertama yang saya kunjungi sesaat setelah melihat dudukan patung tersebut adalah makam milik Clara Hortensee, bagaimana saya tahu? Karena masih terdapat keterangan siapa yang dikebumikan disini.

Makam Clara Hortensee Jüch.

Prasasti milik Clara Hortense Jüch.

Berdasar dari keterangan yang tertulis pada prasasti makam tersebut, apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berbunyi:
Disini Beristirahat
Saudara kita yang terkasih
CLARA HORTENSEE JüCH
Lahir di Bojolali 10 Juni. 1889
Meninggal di Purworedjo 
6 September. 1905.

Siapakah Clara Hortensee Jüch ini sebenarnya? Beliau adalah orang keturunan Jerman yang dilahirkan di Kabupaten Boyolali dan memiliki beberapa saudara perempuan dan laki-laki, salah satunya bernama Johannes Frederick Ferdinand Jüch. Mereka berdua dilahirkan di Boyolali tempatnya kurang lebih di daerah Bledog hanya saja di peta tahun 1930an nama Bledog tidak ditemukan,  yang ada nama Ngledog di pinggiran kota.

Iklan meninggalnya Clara Hortense Jüch, dalam daftar almanak/catatan balai kota.
Source: www.imexbo.nl.

Prasasti milik Minah Jüch (Wilhelmina) dan Johannes Frederick Ferdinand Jüch.
Source: Roemah Toea.

Johannes Frederick Ferdinand Jüch dilahirkan di Bledog Boyolali 6 Desember 1870, kemudian menikah dengan seorang wanita Jawa bernama Minah yang lahir di Brosot Yogya dan mengganti nama Minah mejadi Wilhelmina. Pada akhir hayatnya nama Minah kembali digunakan ditambah marga Jüch, sehingga menjadi Minah Jüch.


Minah Jüch
Geboren op 6 Deember 1879 te Brosot
Overl: 14 Juni 1967
Hier Rust
Johannes Frederick Ferdinand Jüch.
Geboren op 6 Desember 1870 te Bledoog (Bojolali).
Overl te Brosot: 23 Februarij 1940.

Kembali lagi ke kompleks makam Belanda yang ada di Kabupaten Boyolali, tepat di sisi timur makam Clara Hortensee juga terdapat makam lainnya. Disini saya menemukan 2 prasasti dari 2 makam berbeda, terdapat prasasti yang makamnya sudah hilang dan diletakan begitu saja diatas makam lain. Makam milik Karel Simon merupakan makam kedua yang ditemukan dan seperti biasa, prasasti asli milik Karel raib entah kemana.

Seperti yang sudah saya jelaskan bahwa ditemukan prasasti milik makam yang sudah hilang di atas makam lain, dan hal ini saya temukan ketika mencoba untuk mencari informasi tentang siapa Karel Simon ini. Prasasti milik Karel cenderung berbentuk persegi panjang, sedangkan prasasti lainya berbentuk segi enam. Perlu diingat juga bahwa makam Belanda pasti terdapat nomor makam untuk memudahkan pengidentifikasian oleh keluarga.

Makam Karel Simon.
Prasasti milik makam yang sudah tidak diketahu rimbanya.

Adapun bunyi prasasti yang berada di atas pusara Karel Simon tersebut berbunyi:

Hier Rust.
(Nama orang berhuruf Jepang)
Geboren den. 13e Mei 1798.
Overleden den. 14 Februarij
1885.

Hingga kini belum diketahui secara jelas siapa yang namanya diabadikan pada prasasti tersebut, yang jelas satu komplek begraafplaats ini tidak hanya dihuni orang Belanda dan Tionghoa saja melainkan juga orang Jepang. Begraafplaats pada umumnya tidak hanya berbentuk kompleks makam seperti biasa, tetapi dihias sesuai dengan tingkat sosial yang dikuburkan. Penggunaan tanaman hias, patung dewi Yunani dan patung orang berpengaruh menjadi pertanda bahwa ini bukan pemakaman biasa.

Hiasan yang dulunya menghiasi areal pemakaman di Boyolali tersebut saat ini sudah hilang entah kemana dan hanya meninggalkan pondasi dudukan patung. Setelah saya dekati seharusnya ada semacam prasasti yang menunjukan apa ini dulunya, dudukan patung atau fungsi lainya.

Dudukan patung sebagai hiasan pemakaman.

Setelah mengelilingi 2 titik makam Belanda milik Clara Hortensee Jüch dan Karel Simon, saya melanjutkan perjalanan menuju ke nisan Noni dan Sinyo. Sebelumnya saya bingung dengan siapa itu “noni” dan “sinyo”, dan ternyata itu adalah panggilan untuk anak perempuan dan laki-laki keturunan Belanda. Apa yang saya cari akhirnya ditemukan dengan kondisi berubah wujud menjadi trotoar, lantas mana nisannya?. Ya terkubur di bawah trotoar tersebutlah noni dan sinyo berada.

Akhirnya selesailah penjelajahan saya guna mencari jejak makam Belanda di pusat Kota Kabupaten Boyolali. Meski dalam kondisi kurang terawat untungnya masih ada yang bertahan hingga saat ini. Harapan saya bahwa suatu saat keluarga dan anak cucunya dapat menyaksikan bahwa nenek moyangnya dahulu hidup dan tinggal di Kabupaten Boyolali. Selain itu juga menambah wawasan bahwasa Boyolali tidak hanya berfungsi sebagai jalan utama, tetapi juga sebagai pemukiman yang sangat strategis.


Referensi
http://www.imexbo.nl/jogja-kerkhof-deel-2.html. Clara Hortense Jüch een Familie.
http://www.imexbo.nl/moentilan.html. Clara Hortense Jüch.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Trace op De Grote Postweg Soerabaja. Jembatan Merah sebagai Jantung Utama Kota Tua Surabaya. Yang Tersisa dari Mahakarya Kolonalisme k...