Begraafplaats di pusat
Kota Kabupaten Bojolali, saksi bisu keberadaan masyarakat Eropa di desa eks
Karesidenan Surakarta.
Kabupaten
Boyolali diam-diam menyimpan peninggalan dari masyarakat pedatang yang memberi
warna khusus wilayah ini. Peninggalan baik dari masa kolonial maupun dari masa
jauh sebelumnya kita dapat temukan di sini. Jangan dibayangkan peninggalan
tersebut hanya berupa bangunan tempat tinggal dan sarana prasarananya semata, namun
juga berbentuk makam milik keluarga Eropa yang “masih” beristirahat tenang di pusat Kota Kabupaten Boyolali. Walau
banyak pihak meragukan kalau masih terdapat pemakaman Belanda di pusat kota
terlebih Boyolali, namun keberadaan makam ini tentunya membantah asumsi
tersebut.
Makam
yang tenang di dalam lebatnya Hutan Kota
Saat
pertama kali mencoba untuk menelisik makam milik Eropa yang ada di Boyolali,
berbekal niat juga campuran antara kenekatan dan keisengan, akhirnya menemukan
lengkap dengan prasasti yang masih menempel. Sayangnya hanya tertinggal 1 nisan
yang masih ada prasastinya, sisanya sudah babak bundas dimakan usia dan
tangan-tangan tak bertanggung jawab. Coba bayangkan apa yang anda rasakan
ketika nisan milik leluhur anda dirusak oleh orang tak bertanggung jawab? Sila
anda jawab sendiri.
Pusat
kota awalnya merupakan pusat pemukiman dan aktivitas warga Eropa yang berkoloni
di Kabupaten Boyolali. Tidak dapat dipungkiri berdirinya beberapa bangunan
peninggalan kolonial tersebar di setiap sudut kota, dan membentuk pola
pemukiman yang simetris. Konsep tersebut didasarkan atas teori struktur tata
ruang kota tradisional, dimana alun-alun sebagai pusat kegiatan publik didukung
dengan perkantoran dan tempat tinggal maupun soosieteiet untuk kalangan Eropa,
Cina dan Elite pribumi.
Kabupaten
Boyolali juga diterapkan sistem yang sama dengan alun-alun sebagai pusat kota,
hanya saja karena alun-alun menjadi satu kesatuan dengan pesanggrahan milik
SISKS Pakubuwana X maka alun-alun digantikan dengan gedung soscieteiet. Kondisi
pusat kota di Boyolali berbanding terbalik dengan kabupaten lain di karesidenan
Surakarta, hal ini terjadi bukan karena ada benteng Renovatum 1830 dan soscieteiet
di tengah kota. Perbedaan ini justru dikarenakan adanya pemakaman untuk orang
Belanda di Boyolali, dan merupakan areal makam yang paling tua. Makam Belanda
tersebut dapat dikatakan mewah pada masanya, karena lokasinya yang tepat berada
di timur benteng Renovatum menjadikan kompleks makam tersebut cukup
tersembunyi.
Orang
Eropa datang ke Hindia Belanda pada awalnya bertujuan untuk berdagang dan
mencari rempah-rempah untuk diekspor ke negara Eropa untuk melunasi hutang
pemerintah. Rempah-rempah yang dicari mayoritas berada dipulau Jawa dan Maluku yang
kondisi geografisnya menguntungkan. Diapit oleh gunung dan bertanah subur
merupakan kunci utama sukses melakukan budidaya rempah-rempah, dan tanaman
penghasil nilai jual tinggi seperti tebu.
Tanaman bernilai jual tinggi tersebut diantaranya pala, kayu
manis, dan merica. Rempah-rempah di Hindia Belanda terutama Jawa dan Maluku
memiliki nilai jual yang tinggi karena tidak ditemukan di belahan dunia
manapun. Seperti halnya pala dan kayu manis hanya dapat ditemukan di beberapa
daerah di Indonesia dengan karakteristik yang berbeda. Bahkan jalur sutra atau
jalur perdagangan dunia juga menyinggahi kepulauan nusantara demi mencari
rempah-rempah yang tiada duanya ini.
Dengan
alasan yang cukup mendasar inilah pemerintah Belanda menerbitkan peraturan yang
biasa dikenal dengan undang-undang agraria demi memajukan usaha mereka dan para
pemilik tanah. Adapun isi undang-undang tersebut diantaranya yakni perlindungan kepada
pemilik tanah dari pemodal asing dan membuka peluang terhadap investor asing
menyewa tanah. Inilah yang menjadikan beberapa orang Belanda mulai mendirikan
rumah dan menikah dengan perempuan Jawa dan menjadi orang paling terpandang di
masanya.
Alasan
orang Eropa lebih memilih menikahi perempuan dari Jawa terutama keraton salah
satunya adalah faktor politis. Dengan menikahnya para kalangan elit ini, kedua
belah pihak sama-sama memiliki peran dan status sosial lebih tinggi. Juga
menjadi petinggi pada perusahaan dan juga diakui lebih tinggi dalam masyarakat.
Perusahaan milik Belanda di Hindia Belanda didirikan bukan hanya oleh orang
Belanda sendiri, tetapi juga ada keterlibatan dari elite Jawa.
Status
sosial lebih tinggi dan bergelimang harta ditunjukan tidak hanya pada
kepemilikan perusahaan, perkebunan dan tempat tinggal saja melainkan juga jaminan
untuk generasi berikutnya. Pernikahan antar warga Belanda dengan Jawa
melahirkan dua kebudayaan yang berakulturasi pada masyarakat, selain itu juga
memunculkan Indo-Belanda yakni keturunan dari perkawinan antara Belanda dan
Jawa (Indonesia). Keberadaan anak Indo-Belanda ini di Indonesia cukup banyak
dan menempati posisi yang cukup tinggi pada masa itu.
Seiring
dengan datangnya koloni dari Timur Asing atau Oost Indie juga memberikan dampak
yang cukup terhadap masyarakat. Perdagangan yang awalnya dikuasai oleh Belanda mulai
bergeser seiring masuknya Cina dan Arab maka kerjasama merupakan jalan terbaik
antar kedua belah pihak, dan kembali lagi selalu ada unsur politik yang mengiringinya.
Clara
Hortensee Jüch, Karel Simon, Sinyo dan Noni
Ketiga
nama yang saling berdampingan tersebut, adalah milik tiga orang berbeda dengan
perbedaan status sosial berbeda pula. Nama beliau memang terdengar cukup asing
dan secara otomatis kita terfikirkan bahwa mereka adalah orang Belanda yang
menjajah negara kita. Jangan salah persepsi dulu tentang mereka karena ada
salah satu makam dengan penjelasan bahwa dilahirkan di tanah jajahan atau
Indonesia saat ini, siapa dan bagaimana bisa? Mangga disimak terus ....
“Mereka sudah beristirahat dengan
tenang kenapa masih saja diusik ?!” mungkin itulah sebuah
pepatah mengatakan kepada kita untuk saling menghargai dan menghormati.
Bagaimana tidak, ketika saya melakukan penelusuran ke 3 makam tersebut sudah
diingatkan warga untuk senatiasa untuk salam kepada mereka. Bukan karena
apa-apa hanya saja untuk saling menjaga dan menghormati.
Bentuk
makam yang ditemukan berbeda, ada yang berbentuk menyerupai tugu dan ada juga
yang memiliki bentuk layaknya makam Belanda lainya yakni berbentuk kotak. Salah
satu sudut makam yang terletak di timur
lapangan tenis diareal taman Kridanggo Boyolali ini masih terdapat dudukan patung biasanya adalah
patung dewi Romawi dan patung setengah badan orang yang dikebumikan disitu.
Sayang sekali saat ini patung tersebut entah raib kemana, hanya saja yang jelas
ada di suatu tempat entah di mana.
Makam
pertama yang saya kunjungi sesaat setelah melihat dudukan patung tersebut
adalah makam milik Clara Hortensee, bagaimana saya tahu? Karena masih terdapat
keterangan siapa yang dikebumikan disini.
Makam Clara
Hortensee Jüch.
Prasasti milik
Clara Hortense Jüch.
Berdasar
dari keterangan yang tertulis pada prasasti makam tersebut, apabila
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berbunyi:
Disini
Beristirahat
Saudara kita yang terkasih
CLARA
HORTENSEE JüCH
Lahir di Bojolali
10 Juni. 1889
Meninggal di
Purworedjo
6 September. 1905.
Siapakah
Clara Hortensee Jüch ini sebenarnya? Beliau adalah orang keturunan Jerman yang
dilahirkan di Kabupaten Boyolali dan memiliki beberapa saudara perempuan dan
laki-laki, salah satunya bernama Johannes Frederick Ferdinand Jüch. Mereka
berdua dilahirkan di Boyolali tempatnya kurang lebih di daerah Bledog hanya
saja di peta tahun 1930an nama Bledog tidak ditemukan, yang ada nama Ngledog di pinggiran kota.
Iklan meninggalnya
Clara Hortense Jüch, dalam daftar almanak/catatan balai kota.
Source: www.imexbo.nl.
Prasasti milik
Minah Jüch (Wilhelmina) dan Johannes Frederick Ferdinand Jüch.
Source: Roemah
Toea.
Johannes
Frederick Ferdinand Jüch dilahirkan di Bledog Boyolali 6 Desember 1870, kemudian
menikah dengan seorang wanita Jawa bernama Minah yang lahir di Brosot Yogya dan
mengganti nama Minah mejadi Wilhelmina. Pada akhir hayatnya nama Minah kembali
digunakan ditambah marga Jüch, sehingga menjadi Minah Jüch.
Minah Jüch
Geboren op 6 Deember 1879 te Brosot
Overl: 14 Juni 1967
|
Hier Rust
Johannes Frederick Ferdinand Jüch.
Geboren op 6 Desember 1870 te
Bledoog (Bojolali).
Overl te Brosot: 23 Februarij 1940.
|
Kembali
lagi ke kompleks makam Belanda yang ada di Kabupaten Boyolali, tepat di sisi
timur makam Clara Hortensee juga terdapat makam lainnya. Disini saya menemukan
2 prasasti dari 2 makam berbeda, terdapat prasasti yang makamnya sudah hilang
dan diletakan begitu saja diatas makam lain. Makam milik Karel Simon merupakan
makam kedua yang ditemukan dan seperti biasa, prasasti asli milik Karel raib
entah kemana.
Seperti
yang sudah saya jelaskan bahwa ditemukan prasasti milik makam yang sudah hilang
di atas makam lain, dan hal ini saya temukan ketika mencoba untuk mencari informasi
tentang siapa Karel Simon ini. Prasasti milik Karel cenderung berbentuk persegi
panjang, sedangkan prasasti lainya berbentuk segi enam. Perlu diingat juga
bahwa makam Belanda pasti terdapat nomor makam untuk memudahkan
pengidentifikasian oleh keluarga.
Adapun
bunyi prasasti yang berada di atas pusara Karel Simon tersebut berbunyi:
Hier Rust.
(Nama orang
berhuruf Jepang)
Geboren den. 13e
Mei 1798.
Overleden den. 14
Februarij
1885.
Hingga
kini belum diketahui secara jelas siapa yang namanya diabadikan pada prasasti
tersebut, yang jelas satu komplek begraafplaats
ini tidak hanya dihuni orang Belanda dan Tionghoa saja melainkan juga orang
Jepang. Begraafplaats pada umumnya
tidak hanya berbentuk kompleks makam seperti biasa, tetapi dihias sesuai dengan
tingkat sosial yang dikuburkan. Penggunaan tanaman hias, patung dewi Yunani dan
patung orang berpengaruh menjadi pertanda bahwa ini bukan pemakaman biasa.
Hiasan
yang dulunya menghiasi areal pemakaman di Boyolali tersebut saat ini sudah
hilang entah kemana dan hanya meninggalkan pondasi dudukan patung. Setelah saya
dekati seharusnya ada semacam prasasti yang menunjukan apa ini dulunya, dudukan
patung atau fungsi lainya.
Dudukan patung
sebagai hiasan pemakaman.
Setelah
mengelilingi 2 titik makam Belanda milik Clara Hortensee Jüch dan Karel Simon,
saya melanjutkan perjalanan menuju ke nisan Noni
dan Sinyo. Sebelumnya saya bingung
dengan siapa itu “noni” dan “sinyo”, dan ternyata itu adalah panggilan untuk
anak perempuan dan laki-laki keturunan Belanda. Apa yang saya cari akhirnya
ditemukan dengan kondisi berubah wujud menjadi trotoar, lantas mana nisannya?.
Ya terkubur di bawah trotoar tersebutlah noni dan sinyo berada.
Akhirnya
selesailah penjelajahan saya guna mencari jejak makam Belanda di pusat Kota
Kabupaten Boyolali. Meski dalam kondisi kurang terawat untungnya masih ada yang
bertahan hingga saat ini. Harapan saya bahwa suatu saat keluarga dan anak
cucunya dapat menyaksikan bahwa nenek moyangnya dahulu hidup dan tinggal di
Kabupaten Boyolali. Selain itu juga menambah wawasan bahwasa Boyolali tidak
hanya berfungsi sebagai jalan utama, tetapi juga sebagai pemukiman yang sangat
strategis.
Referensi
http://www.imexbo.nl/jogja-kerkhof-deel-2.html.
Clara Hortense Jüch een Familie.
http://www.imexbo.nl/moentilan.html.
Clara Hortense Jüch.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar