Saksi Bisu itu Berjuluk “Omah Singa”,
Kediaman Terakhir sang Raja Gula dari Kabupaten Pasuruan.
Perkembangan
Pasoeroean di awal abad Ke-19.
Awal
abad ke-18 atau saat kebijakan cultuurestelsel
digalakan oleh pemerintah kolonial Belanda pada masa pemerintahan Graff
Johanees van den Bosch, banyak sekali bermunculan perkebunan tebu dan pabrik
gula di seluruh Hindia Belanda. Hindia Belanda merupakan negara yang menjadi salah
satu tujuan utama para saudagar Eropa dan Tionghoa untuk berdagang hasil perkebunan.
Ini semua tidak terlepas dari kondisi geografis yang representatif untuk
tinggal serta mendirikan sarana prasarana pendukung.
Alasan
lain adanya cultuurstelsel atau tanam
paksa ini untuk menutup kas negara yang kosong selama perang Diponegoro berkecamuk.
Komoditas utama yang dihasilkan adalah gula, selain itu juga kopi, pewarna
tekstil atau nila, dan kakao. Seiring
dengan munculnya revolusi industri di Eropa mengakibatkan banyak perusahaan di
Indonesia (Hindia Belanda) mengganti
tenaga kerja yang tadinya dikerjakan tenaga manusia menjadi tenaga mesin guna
meningkatkan hasil produksi.
Pasuruan
merupakan salah satu Kota di Hindia Belanda yang tidak luput dari kolonialisasi.
Lokasi yang strategis, adanya pelabuhan dan akses ke beberapa kota di sekitarnya
menjadi alasan utamanya. Kolonialisasi di Pasuruan ini dimulai tahun 1707 ketika
Kongsi Dagang VOC mulai menempati wilayah jajahannya dan memulai pembangunan
benteng bernama“De Wilde”. Belanda bukanlah
pihak yang pertama kali melakukakan kolonialisasi di sini, sebelumnya sudah ada kolonialisasi sebelumnya
oleh pemerintah Inggris, meskipun populasi orang Eropa dani Inggris tidaklah
banyak. Laporan tentara Inggris menggambarkan Pasuruan sebagai tempat yang
cocok dengan cuaca yang menyehatkan. Kondisi tersebut membuat rumah residen dan
beberapa bangunan pendukung lain dimulai segera didirikan pada tahun 1811 (Donald
Macline Champbell. 1915; 497).
Pasuruan
sampai saat ini dikenal sebagai “surganya pabrik gula”, meskipun banyak yang
sudah mati bahkan dibongkar pada masa Clash
II oleh pejuang Indonesia demi mencegah alih fungsi oleh tentara Belanda.
Beberapa pabrik yang pernah berdiri di Kabupaten Pasuruan didasarkan atas arsip
“Lijst van Naamlooze Venootschappen in 1891 Nedherlandsch-Indie diantaranya yakni:“Maatschappij tot exploitatie der Suikerfabriek Sempal Wadak”Malang,
“Koffiecultuur Maatschappij Soember
Djero”, “Koffiecultuur Maatschappij
Donowari”, “Cultuur Maatschappij Madoeardjo” Amsterdam, “Cultuur Maatschappij Kali Bakar” s-Gravenhagen
dan“Maatschappij tot Exploitatie van het
land Wonokoijo” Amsterdam.
“Omah Singa” Kediaman Taipan China di
Pasuruan.
Perjalanan
awal menuju“pintu gerbang” kawasan pecinan di Kota Pasuruan baru dimulai,
ketika adanya keinginan jelajah ke salah satu kota pesisir di Jawa Timur ini.
Hanya saja pada peta buatan Belanda tahun 1934 kompleks pecinan tersebut tidak digambarkan secara jelas, hanya dijelaskan
bahawa terdapat klenteng di pinggiran kota yakni Klenteng Tjioe Tik Kiong.
Peta Kota Pasuruan tahun 1934.Kawasan“Omah Singa” berdampingan dengan
Kampung Kaoeman dan tepat di pinggiran kota.
Kampung Kaoeman dan tepat di pinggiran kota.
Sumber:
maps.library.leiden.edu.
Perjalanan
diawali dari Kota Malang dengan menumpang bus antar kota menuju ke Surabaya. Kami
turun di kawasan Kebon Agung tempat biasa penumpang arah Pasuruan turun dari
bis, dilanjutkan perjalan sekitar 1 jam dengan jalan kaki menyusuri rindangnya
pepohonan di sepanjang jalan dan harus bergantian dengan lalu lalang kendaraan. Awalnya kami disambut dengan gapura
bergaya oriental khas Tionghoa yang ternyata memang gerbang masuk kompleks
pemakaman Tionghoa atau biasa disebut dengan bong.
Gapura pemakaman Tionghoaatau bisa disebut dengan
bong. Pada bagian atas lengkung pintu masuk terdapat ornamen dengan bunyi
“pemakaman umum”.
Sumber: dokumentasi pribadi.
Mengacu
dari peta tahun 1934 gapura ini berada di pinggiran kota, dan memang berada di
kawasan pecinan. Gapura ini memang
dahulunya adalah pintu masuk ke pemakaman elit Tionghoa, mengacu pada
stratifikasi sosial masa kolonialisme di Indonesia. Dan gapura inilah awal mula
perjalanan menyusuri pecinan di
Pasuruan berawal. “Omah singa” begitu
penjelasan dari sang penjaga rumah yang berhasil kami temui, ketika kami
melakukan perjalanan menyusuri kawasan pecinan
di Pasuruan yang kental akan bangunan bernuansa Tionghoa dan Eropa berdiri.
Paviliun bagian kiri dari rumah milik keluarga Kwie.
Terlihat penggunaan ornamen patung singa yang sedang berkelahi dengan seekor
ular di kaki depannya.
Sumber:
dokumentasi pribadi.
Rumah utama sekaligus pintu utama rumah keluarga Kwie.
Bagian depan rumah ini memang tidak ada ornamen patung kuda, tapi digantikan
dengan patung dewi Yunani.
Sumber:
dokumentasi pribadi.
Paviliun sebelah kanan dari rumah keluarga Kwie.
Ornamen patung singa di depan paviliun ini berpose terbalik dari patung singa
yang berada di paviliun kiri.
Sumber: dokumentasi pribadi.
Rumah
ini memiliki tata ruang, rumah utama ada di tengah kemudian rumah samping kanan
dan kiri berfungsi sebagai paviliun. Julukan tersebut didasarkan atas
keberadaan dua patung singa yang didesain sedang berburu. Patung singa
menandakan bahwa simbol salah satu negara
di Eropa yakni Belanda, dalam artian bahwa orang yang tinggal di rumah
dengan patung singa bukan orang Belanda murni atau biasa disebut Indo-Belanda.
Meskipun yang tinggal disana adalah orang Tionghoa, karena Tionghoa dan Belanda
juga sama-sama memiliki status sosial tinggi. Tidak hanya rumah saja pemakaman
milik orang elite Eropa dan Tionghoa juga ada yang menggunakan patung singa
untuk hiasan makam.
Omah
Singa ini menurut catatan sejarah amerupakan milik keluarga Han dan Kwie selaku
raja gula di Pasuruan. Raja gula? Apa hubungan antara Pasuruan dan pabrik gula?
Tentu saja didasarkan atas letak yang strategis dekat dengan pelabuhan,
merupakan salah satu faktor didirikannya pabrik gula. Tanaman penghasil gula
yakni tebu mudah tumbuh di daerah perkotaan dan daerah landai yang dekat sumber
air guna mendapatkan hasil yang maksimal. Hampir setiap kota dan kabupaten di
Indonesia memiliki setidaknya 2 pabrik gula, dan dalam pengelolaanya ditangan
Eropa, Tionghoa dan juga elite Jawa (Kerajaan).
Kwie
Liat Liem dan Han Thiam An adalah pemilik salah satu dari puluhan pabrik di
Pasuruan, lebih tepatnya di bawah district
Tengger pada tahun 1878 dengan nama pabrik “Bendo”.
Selain di Tengger juga ada di Wangkal yang dikelola oleh N.V. Cultuurmaatschappij Randoe-Agoeng, o., A, G dan bernama pabrik
“Randoe Agoeng” berdasar pada arsip Lijst van Onderneming Nedherlandsch-Indie. Seiring menurunnya produksi gula
karena malaise atau kelesuan ekonomi
melanda Indonesia tahun 1998, membuat banyak pabrik gula di Indonesia gulung
tikar dan pabrik gula terlebih yang masih dapat bertahan diakuisisi oleh
pemerintah Indonesia atau dengan kata lain nasionalisasi.
Sesaat
setelah puas menikmati setiap detail dan ornamen dari Omah Singa, kami
melanjutkan perjalanan ke gedung Yayasan Pancasila yang tepat berdiri di
seberangnya. “Biasakan terlebih dahulu ijin,
karena ini merupakan kunci untuk berkunjung” dan tepat sekali waktu yang
kami ambil, yakni ketika halaman depan akan digunakan untuk pertandingan basket.
Awalnya kami mengambil sudut dari depan lurus, karena cuaca terik dan rasa penasaran
akan bagian dalam bangunan akhirnya kami menuju ke beranda depan rumah. Deretan
colomn bernuansa doric yang khas
menyambut kedatangan kami, dengan jumlah 8 colomn
yang menjulang menunjukan bahwa ini kediaman milik saudagar kaya.
Salah satu rumah milik keluarga Han yang kini berubah
menjadi Yayasan Pancasila.
Sumber:
dokumentasi pribadi.
Gedung
di dalam gambar ini biasa disebut dengan Lodge,
kalimat lodge ini memiliki arti rumah be ar atau gedongan. Lodge biasa disebut sebagai rumah besar
pastinya tidak cocok kalau tidak menggunakan tegel bermotif dan marmer layaknya
rumah saudagar lainya. Bagian beranda depan atau voor veranda menggunakan tegel marmer yang diproduksi dari Surabaya,
Semarang dan Batavia sedangkan bagian dalam menggunakan tegel motif.
Pernah
bermalam di Hotel Trio Solo dekat Pasar Gede Hardjonagoro atau pernah
melihatnya sekali?. Ya gedung “Yayasan
Pancasila”ini memiliki konstruksi yang sama hanya saja terdapat beberapa
perbedaan yang cukup kental. Hotel Trio memiliki konstruksi 2 lantai dan
memiliki kamar 6 pada setiap lantai dengan ukuran cukup besar, sedangkan gedung
Yayasan Pancasila memiliki konstruksi biasa layaknya rumah pribadi dan hanya
memiliki 6 kamar.
Fasade depan gedung dengan deretan colom doric.
Sumber:
dokumentasi pribadi.
Perbedaan
lainya adalah ukuran antara dua gedung tersebut Hotel Trio tidak melebihi 1
hektar tanah, sedangkan gedung yayasan pancasila cukup lebar karena bagian
samping kanan dan kiri juga terdapat paviliun yang saling terhubung dengan conector ke rumah utama. Indische empire style dengan penggunaan voor veranda dan achter veranda pada gedung tersebut. Bagian
dalam gedung layaknya sebuah gedung soocieteit
pada masa Belanda, setelah memasuki ruang tamu dan berjalan menyusuri depan
kamar lurus menuju ke achter veranda kita
akan langsung di hadapkan dengan kebun belakang.
Perbedaan bangunan ini dengan
Hotel Trio juga bisa dilihat dari banyaknya jumlah pintu yang selain bertujuan
untuk akses keluar menuju teras samping
juga untuk sirkulasi udara yang baik. Perjalanan
dilanjutkan ke arah utara menuju ke Klenteng Tjioe Tik Kiong. Selama perjalanan
kami kembali menemukan bangunan bergaya indische
empire yang sudah beralih fungsi menjadi bengkel almari aluminium. Ketika kami
sejenak beristirahat untuk melepas lelah, tanpa diduga di depan lokasi kami
meluruskan kaki terdapat sepasang rumah couple nan mungil yang berada di sudut
perempatan jalan.
Rumah couple bertuliskan
“Villa NGo”.
Sumber:
dokumentasi pribadi.
Sesampainya di Klenteng Tjioe Tik Kiong kami disambut pertunjukan wayang
potehi yang digelar dalam rangka perayaan Hari Kebesaran Kwan Kong. Setelah
puas melihat wayang potehi, kamipun mulai masuk dan menikmati aroma khas hio
yang selalu menyala untuk sarana ibadah umat Tridharma. Perlu diingat bahwa
Klenteng selain berfungsi sebagai sarana ibadah bagi penganut Tridharma, juga merupakan
salah satu sarana bersosialisasi antar masyarakat.
Klenteng Tjio Tik Kong
Sumber:
dokumentasi pribadi.
Akhirnya
perjalanan menyusuri Omah Singa dan sarana pendukungnya yang lain kami akhiri di Klenteng ini, kami harus segera
kembali ke kota Malang dimana seorang kawan telah menunggu kedatangan kami
(Petualangan kami di Kota Malang akan diceritakan di tulisan yang lain). Pusat Kota Pasuruan sendiri masih menyimpan
beberapa bangunan kolonial lainnya, seperti Soocieteiet
“Harmonie” dan Stasiun Pasuruan Kota. Mayoritas bangunan peninggalan kolonial
Belanda di Pasuruan berada di seputaran alun-alun, mengacu pada tata ruang kota
tradisional Jawa.
Semoga
saja bangunan kuno peninggalan kolonial tersebut dapat bertahan hingga waktu
yang tidak ditetapkan dan tetap lestari di tangan generasi muda saat ini. Semua
peninggalan di beberapa Kabupaten dan Kota di Indonesia tidak ada yang sama,
disesuaikan dengan kondisi geografis dan kultur dalam masyarakat, sudah
sepatutnya untuk dijaga untuk kajian-kajian lebih lanjut di masa yang akan
datang.
Referensi
Anonim,
1915. Lijst van Ondernemimngen
Nedherlandsch-Indie. Batavia: Landslukkerij.
Anonim,
1892. Lijst van Naamlooze Venootschappen
in 1891. Nedherlandsch-Indie.
Maclaine
Campbell, Donald. 1915. Java; Past &
Present. London: William Heinemann.
Knight
Robert. G, 2014. Sugar, Steam and Steel:
The Industrial Porject in Colonial Java 1830-
1885. South Australia: University Adelaide Press.