Kamis, 27 Oktober 2016

Cagar budaya sebagai kaca benggala masa lalu.

Bangunan Cagar Budaya sebagai Simbol Kejayaan
Kota Lama Boyolali


Salah satu Situs Cagar Budaya di Boyolali yang terlantar berupa rumah panggung dengan bahan kayu jati alas.


Kota Boyolali Selayang Pandang.

Kota Boyolali merupakan salah satu bagian dari wilayah Karesidenan Surakarta yang resmi berdiri pada 5 Juni 1847 berdasarkan Serat Angger Gunung, bab 1  denga nama pertama kali Pos Tundan. Jauh sebelum tahun 1847 nama Boyolali sudah tertuangkan pada Babad Sala dan Babad Kartasura. Awal mula nama Boyolali muncul dari potongan percakapan antara Kyai Ageng Pandanaran selaku Bupati pertama Semarang dengan istrinya, saat melakukan perjalanan dari Semarang menuju Gunung Jabalkat di daerah Tembayat Klaten. 
Dicuplik dari percakapan yang berbunyi “Boya Wis Lali, Kyai Teko Ninggal Aku”  yang diucapkan oleh Nyai Ageng Pandanaran ketika berada diatas sebuah batu besar di bawah Jalan Pandanaran saat ini nama Bojo Lali disematkan oleh Kyai Ageng. Menurut sejarah, Nyai Ageng Panadanaran mengucapkan kalimat tersebut ketika istirahat karena baru saja dirampok oleh pemuda yang tengah mabuk ketika berada di Salatiga, dan ditinggal oleh Kyai Ageng Pandanaran. Hingga saat ini ketika tanggal 5 Juni setiap tahun diadakan napak tilas nama Boyolali yang dilaksanakan oleh yang dituakan masyarakat Boyolali. Tepat berada di atas batu yang berada di sungai Jalan Pandanaran atau jalur utama Semarang Solo.

Status Boyolali sebagai Pos Tundan, Kabupaten Gunung Pulisi hingga Kabupaten Pangreh Praja.

Tahun 1847 ketika pemerintah kolonial berada di Surakarta, nama Pos Tundan mulai digunakan pada masa pemerintahan Keraton Surakarta dibawah kontrol pemerintah kolonial Belanda. Kota Boyolali yang notabene masih belum memiliki pemerintahan sendiri, membuat Pos Tundan dirasa sesuai dengan letak geografisnya. Faktor lokasi yang strategis, membuat Kota Boyolali yang berada pada jalur utama Semarang Solo mendapat julukan Pos Tundan.
Hal ini membuat pemerintah kolonial Belanda mulai mendirikan beberapa fasilitas layaknya sebuah kota kolonial dengan beberapa pendukung lainya. Pos Tundan pada awalnya digunakan sebagai pos pengamanan pengiriman hasil bumi dan tenaga kerja dari pelabuhan atau daerah di Semarang menuju ke daerah Karesidenan Surakarta dan sebaliknya.  Didasarkan  kepada lokasi yang strategis tersebut, membuat Boyolali layak digunakan sebagai pos tundan. Seiring berjalanya waktu Boyolali mengalami perubahan dari sebagai Pos Tundan menjadi Kabupaten Gunung Pulisi hingga terakhir menjadi Kabupaten Pangreh Praja, hal ini didasarkan atas staatsblad 1847 No 30, staatsblad 1874 No 209 dan rijksblaad 1918.


Peta Kota Lama Boyolali tahun 1935. Sumber: kitlv.nl

Napak Tilas Kejayaan Kota Lama Boyolali

Kota Lama Boyolali berada di poros utama Jalan Raya Daendels atau Semarang - Solo, dimulai dari perempatan toko besi “seiko” kearah barat hingga terminal bus Boyolali. Adapun bangunan-bangunan yang masih tersisa hingga saat ini dan masih berdiri mayoritas berdiri di sepanjang Jalan Pandanaran, Jalan Merapi dan Merbabu sebagai poros utama pembangunan sarana dan prasarana berupa Bangunan Cagar Budaya.
Kedatangan etnis Tionghoa di Boyolali membuat pemerintah Kota Boyolali memberikan fasilitas untuk mereka, fasilitas tersebut yakni Chinezee kamp, kuburan Cina, dan pasar Sunggingan. Di Boyolali terdapat 3 lokasi kuburan Cina, akan tetapi hanya menyisakan satu lokasi yang saat ini beralih fungsi menjadi perkampungan warga.  

Bangunan Cagar Budaya di Boyolali.

Rumah tinggal pegawai Landraad sekarang Pengadilan Agama.

 Bekas gedung Societeiet kini berubah fungsi menjadi perpustakaan Boyolali. Dahulu merupakan gedung Europe School.


Gedung Tangsi Militer Boyolali berdiri tahun 1913.



        Gedung Tangsi Militer Boyolali berdiri tahun 1914.



Bekas kantor dinas kebudayaan / sekarang menjadi Apotik Baya Husada. Berdiri pada tahun 1910,


       Gedung Villa Merapi / Sekarang Bank Mandiri Syariah.



Gedung Balai Pertemuan Bhayangkari.

Selain bangunan-bangunan pemerintahan dan fasilitas penunjang lainya, disekitaran Kota Lama Boyolali yang menjadi pusat kegiatan masyarakat ini terdapat bangunan-bangunan lain yang mendukung kegiatan perekonomian, sosial dan kebudayaan masyarakat kolonial pada waktu itu. Adapun peninggalan-peninggalan lain yang mendukung tersebut, yakni Oemah Leo, Tempat tinggal bagi orang-orang belanda seperti rumah Loji yang diperuntukan bagi pekerja di pemerintahan dan beberapa fasilitas yang disediakan terutama untuk kepentingan kolonial.
Rumah tinggal masyarakat Eropa di Boyolali berupa bangunan cagar budaya diantaranya yakni :


  Rumah pribadi Eropa sekarang milik salon Sriwijaya.


Rumah tinggal milik pribumi.


Rumah tinggal masyarakat Eropa, tepat berada di depan Kantoor Regent.

Disisi lain, di Boyolali juga terdapat Pesanggrahan Pratjimoharjo yang terletak di Desa Paras, Kecamatan Cepogo ini didirikan oleh SISKS Pakubuwana VI hingga X untuk tempat istirahat Sinuhun beserta permaisuri dan anaknya setelah melakukan lawatan ke daerah lain. Pesanggrahan ini sempat akan digunakan oleh Belanda sebagai pos pengintaian terhadap Keraton Surakarta karena lokasinya yang cukup strategis, yakni di kaki gunung Merapi. Akan tetapi, niatan tersebut gagal setelah gerilyawan Cepogo membumi hanguskan tempat tersebut sekitar tahun 1949.



   Pesanggrahan Pratjimohardjo, Paras, Cepogo Boyolali berdiri 1897 dan dibumi hangus tahun 1949. 

Perihal pendidikan, Belanda juga mendirikan sarana pendidikan di Boyolali dengan nama Sekolah Dasar Putri Boyolali, SD N 1 Boyolali, SMP N  1 Boyolali, SMP N 2 Boyolali, Sekolah Tentara Pelajar dan SMA N 3 Boyolali. Masing-masing sekolah memiliki sejarah yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi pada waktu itu.


Gedung sekolah SMP N 2 Boyolali, sampai saat ini wajah asli masih dipertahankan.

Kesehatan dan kebersihan adalah hal terpenting bagi Belanda, sehingga didirikanlah Kantor Kesehatan Militer yang berada di Jalan Pandanaran.


Bekas gedung rumah sakit militer yang kini berfungsi sebagai dinas kesehatan.

Hingga saat ini kawasan Kota Lama Boyoali, masih didominasi oleh bangunan cagar budaya yang dapat ditunjukan kepada anak cucu berikutnya sekaligus dapat digunakan sebagai pelajaran tentang masa lalu Kota Boyolali dari jaman kerajaan hingga kolonialisme. Selain itu, apabila terdapat sebuah atau kawasan bangunan cagar budaya di suatau daerah bangunan tersebut dapat dipergunakan sebagai icon suatu daerah, kabupaten / kota. 
Dalam bidang transportasi di Boyolali terdapat stanplaat dan Stasiun Telawa yang dahulu merupakan penolong warga Boyolali untuk ke Semarang maupun kembali dari Semarang.



Stasiun Telawa Juwangi.

Simpulan

Perkembangan Kota Boyolali ditahun 2012 hingga tahun 2015 dapat dikatakan cukup pesat seiring perkembangan jaman. Pembangunan simpang lima Kota Boyolali khususnya, berada di kawasan cagar budaya yakni di pusat Kota Lama Boyolali. Akan tetapi, dengan perhitungan dan penelitian lebih lanjut alhasil kawasan cagar budaya tempat dimana simpang lima berdiri aman dan hingga saat ini dapat disaksikan kejayaan Kota Boyolali dari kota kecil menjadi kota kolonial besar dengan sarana dan prasarana yang cukup lengkap. Selain Cagar Budaya berupa gedung tempat tinggal, pemerintahan dan sarana lain Boyolali juga memiliki beberapa situs diantaranya Candi Lawang, Candi Sari, Tapak Nata, Susuh Angin dan Lepen Cabean Kunthi.

Merawat Cagar Budaya ibaratkan merawat anak sendiri dari kecil dengan segala suka duka yang harus dilewati demi mempersembahkan yang terbaik untuk anak cucu kelak. Yang penting Save Our Heritage for Our Future !!!, dan tinggalan Belanda tidak selamanya beraura negative dan menyeramkan.
                                                                                                -Ibnu Rustamadji-




Daftar Pustaka

Eko Budihardjo dan Sidharta. 1989. Konservasi Lingkungan dan Bangunan Kuno Bersejarah di                         Surakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Proyek Inventarisasi Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah., 1986 Inventarisasi                                   Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah.
Radjiman, 1987. Sejarah Surakarta. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Radjiman. 2002. Toponimi Kota Surakarta dan Awal Berdirinya Kasunanan Surakarta                                        Hadiningrat,Surakarta.

Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Jawa Tengah dengan Jurusan Arkeologi                                Universitas Gajah Mada. Jawa Tengah : Sebuah Potret  Warisan Budaya. Yogyakarta.



Trace op De Grote Postweg Soerabaja. Jembatan Merah sebagai Jantung Utama Kota Tua Surabaya. Yang Tersisa dari Mahakarya Kolonalisme k...