Jumat, 16 Juni 2017

Lini Masa Kabupaten Boyolali (1568-1755)
Masa Pemerintahan Kerajaan Majapahit, Demak, Pajang, Pengging hingga Kartasoera.

Kejayaan suatu bangsa dapat dilihat dari keberadaan  kerajaan-kerajaan besarnya. Tidak terkecuali Indonesia, banyaknya kerajaan di nusantara yang memiliki ikatan satu sama lain dalam segala bidang, merupakan tanda bahwa kejayaan suatu kerajaan tidak dapat dilepaskan dari kontribusi kerjaan lain. Hal yang sama juga berlaku dengan proses berdirinya sebuah kota/kabupaten, juga tidak dapat dilepaskan keberadaanya dari kerajaan yang dahulu memiliki andil yang besar dalam kehidupan.

Selayang Pandang
Periode ini dipenuhi dengan  intrik dari masing-masing kerajaan yang dilatar belakangi oleh politik, sosial dan budaya yang berbeda. Contoh yang paling menonjol adalah kedatangan bangsa Eropa ke Jawa yang berawal dari perdagangan hingga berhasil mencengkeram beberapa kerajaan di Indonesia adalah awal mula konflik yang terjadi antar kerajaan.
Kongsi dagang VOC sebagai perusahaan perdagangan dunia pada jamannya juga memainkan peran yang cukup penting terhadap keberlangsungan kerajaan di Jawa. Masuknya agama Islam yang dibawa oleh wali songo  di sisi lain juga memberikan dampak yang cukup nyata terhadap kerajaan Hindu-Budha di Jawa (Ricklef. MC. 1991;95).

Pengging Masa Kini, Pengging Masa Lalu
Sebelum bercerita lebih jauh disini saya akan menjelaskan secara singkat kerajaan mana yang dimaksud. Kerajaan tersebut adalah Pengging. Ya. Memang Pengging termasuk dalam wilayah Kabupaten Boyolali Kecamatan Banyudono, Daerah ini sekarang lebih dikenal dengan Umbul Sungsang dan Umbul Pengging, akan tetapi jauh sebelumnya areal tersebut merupakan kerajaan besar yang memiliki hubungan dengan Majapahit, Demak dan Pajang.
Sebagian besar masyarakat setiap bulan Ruwah (Jawa) berbondong-bondong menuju Pengging hanya untuk melakukan ritual padusan, sebagai sarana pembersihan diri menyambut bulan Ramadhan. Sayang sekali banyak yang tidak mengetahui keberadaan beberapa peninggalan masa lalu yang ada di sekitar umbul, disini saya mencoba mengangkat beberapa peninggalan Pengging yang berkaitan dengan kerajaan Islam di Jawa. Mangga ....

Kabupaten Boyolali pada Masa Kerajaan Demak.
Kabupaten Boyolali pada tahun 1847-1920 secara administrasi dan pemerintahan berada di bawah kekuasaan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, akan tetapi jauh sebelum tahun tersebut Boyolali sudah memiliki sistem pemerintahan tersendiri. Sebagian  sebagian di bawah pemerintahan kerajaan Demak dan sebagian yang lain berada di bawah kepemimpinan Pajang Kartasura. Daerah yang termasuk di bawah wilayah Kerajaan  diantaranya   Bumi Pengging (R.Ng. Ronggowarsito, 1922).
Tahun 1478 ketika Kerajaan Majapahit diserang oleh Demak, Kerajaan Pengging juga memiliki andil yang cukup besar dalam pertempuran. Hal tersebut terjadi dikarenakan putri Prabu Brawijaya dari permaisuri Putri Campa (Dewi Amarwati) yang bernama Retno Pembayun atau Dyah Ayu Retno Kedaton, dinikahkan dengan Prabu Handayaningrat selaku Raja Kerajaan Pengging.
Pangeran Handayaningrat kemudian diberikan gelar Ki Ageng Pengging Sepuh menikah dengan Retno Pembayun dan melahirkan Ki Ageng Kebo Kenanga dan Ki Ageng Kebo Kanigara. Seiring dengan berjalanya waktu Ki Ageng Kebo Kenanga lah yang akhirnya mewarisi takhta kerajaan ayahandanya. Akan tetapi karena ulah sendiri dengan cara menentang Kerajaan Demak, maka dia dijatuhi hukuman mati oleh Raden Patah dengan Sunan Kudus selaku Panglima Kerajaan Demak sebagai eksekutor (H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001;120)

Pintu Masuk Kuncup Ki Ageng Kebo Kenanga
Bagian dalam cungkup hanya terdapat satu makam berukuran besar yang merupakan makam Ki Ageng Kebo Kenanga.

Silsilah Keluarga Ki Ageng Pengging.

Pusara makam Dyah Ayu Retno Kedhaton.
Pusara makam Dyah Ayu Retno Kedathon yakni putri Pangeran Brawijaya V dari permaisuri Dewi Amarawati (Putri Campa) yang ke 42. Makam ini berdiri tepat disamping Kedhaton yang saat ini berubah menjadi “Umbul Ngendhat”.

Banyak versi cerita tentang sepak terjang Ki Ageng Kebo Kanigoro di Pengging dan Majapahit yang harus meninggalkan Pengging demi kemanan. Seperti yang sudah saya jelaskan di atas bahwa Ki Ageng Kebo Kanigara merupakan anak dari Pangeran Handayaningrat dan Dewi Amarawati sekaligus kakak dari Kebo Kenanga. Akan tetapi yang paling berpengaruh terhadap Pengging adalah Kebo Kenanga sebagai pewaris takhta yang kemudian digantikan anaknya yakni Jaka Tingkir (Purwadi. 2007;25).
Peninggalan Ki Ageng Kebo Kanigoro yang ada di Boyolali sebagian besar berupa petilasan Beliau ketika melakukan tirakat atau nyepi, di luar lingkungan keraton saat kehidupan duniawi sudah mulai kacau. Beberapa catatan sejarah menjelaskan bahwa sepak terjang Ki Ageng Kebo Kanigoro sangatlah luas dan beragam versi, salah satunya adalah beliau dimakamkan di Butuh Sragen akan tetapi memiliki beberapa petilasan yang diyakini warga sebagai makamnya. Mana makam yang sebenarnya, Waallahu’alam. 

Petilasan Ki Ageng Kebo Kanigoro
Pintu gapura petilasan Ki Ageng Kebo Kanigoro.

Ruangan pertapaan Ki Ageng Kebo Kanigoro.

Petilasan Ki Ageng Kebo Kanigoro berada di beberapa daerah di sekitar Pajang dan Pengging, hal tersebut dikarenakan mengasingkan dirilah yang menjadikan  beliau tidak diketahui secara pasti dimana rimbanya.  Bekas wilayah Kerajaan Pengging  yang saat ini menjadi bagian dari Boyolali  diantaranya yakni Pengging, Sudimara, Salembi, Kragilan dan Mojosongo.

Kabupaten Boyolali pada Masa Kerajaan Pajang.
Mari kita beranjak ke periode dimana Pengging berada di dalam Kerajaan Pajang. Antara tahun 1568-1586 daerah Pajang dan Pengging berada di bawah kepemimpinan Sultan Hadiwijaya, atau biasa disebut dengan Joko Tingkir, putra Ki Kebo Kenanga. Hal tersebut terjadi karena secara garis keturunan Joko Tingkir adalah cicit dari Prabu Brawijaya V dari permaisuri Putri Campa, sehingga memiliki derajat lebih tinggi untuk berkuasa.
 Wilayah Bumi Pajang yakni Pajang, Laweyan, Wanakerta, Sawahan, Tapen dan Randu Gunting. Antara wilayah Demak dan Pajang dipisahkan oleh aliran sungai akan tetapi keduanya masuk Negara Agung dan merupakan tempat tanah lungguh bagi para sentana dan abdi dalem kerajaan (Serat Siti Dhusun,t.th). Beberapa daerah Kerajaan Pengging dan Pajang yang saat ini menjadi kesatuan dengan Kabupaten Boyolali diantaranya Pengging, Kragilan, Teras dan Slembi. Sedangkan bagian Keraton Pajang diantaranya adalah Pajang kulon dan Simo.

Kabupaten Boyolali pada Masa Kerajaan Mataram 1575-1755
          Periode akhir Pengging berlangsung pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) daerah kekuasaan Pajang dibagi menjadi dua bagian, yakni sebelah barat disebut dengan Bumi Panumping dan bagian timur disebut dengan Bumi Panekar. Sedangkan daerah Demak dan Pajang sendiri disebut dengan Bumi Gedhe. Istilah “Bumi” disini adalah tanah lungguh para abdi dalem keraton yang kemudian menjabat sebagai pejabat setempat di bawah pengawasan keraton.
Daerah yang masuk wilayah Bumi Panumping diantaranya adalah Salembi, Pengging, Banyudono, Sawit dan barat wilayah Surakarta yang sekarang menjadi bagian Kabupaten Boyolali. Untuk daerah Bumi Panekar wilayahnya meliputi Sawahan, Tapen, Randu Gunting, Pabelan, Getas, Ketaon, Semampir, Ketitang, Salakan dan Prembun. Wilayah yang termasuk Bumi Gedhe yakni Bandung, Sutananggan, Jelapa, Bandoengan, Koripan, Ceper, Kaligesing dan Jetis. Beberapa daerah yang telah disebutkan di atas saat ini termasuk wilayah Kabupaten Kartasura, Kabupaten Boyolali, Kecamatan Ampel, dan sekitar Ungaran.
Tahun 1727 masa pemerintahan Sunan Pakubuwana II, Kartasura dibagi menjadi menjadi daerah Bumi Gede Kiwa dan daerah Bumi Gede Tengen, maksudnya adalah Bumi Gede Kiwa daerah yang berada di sebelah kiri dan dekat dengan jalan raya Semarang sedangkan Bumi Gede Tengen adalah daerah yang berada di kanan dan dekat jalur menuju Solo. Pengertian Kiwa dan Tengen ini merujuk pada keberadaan Keraton Kartasura (B. Schrieke, 1957; 179 jilid II).
Keraton Kartasura memiliki daerah yang sebagian saat ini masuk wilayah Boyolali, dan tujuannya diantaranya yakni untuk pengawasan terhadap segala aktifitas yang terjadi di wilayahnya. Daerah tersebut yakni Bumi Penumping dan Bumi Pangrembe pembagianya yakni, Bumi Penumping meliputi Pajang bagian barat dan Bumi Pangrembe meliputi Grogol, Kemusu, Simo yang saat ini masuk di wilayah Kabupaten Boyolali.
Dengan kata lain desa-desa yang masuk dalam wilayah Pajang yakni gabungan dari Bumi Penumping dan Bumi Paneker (Serat Siti Dhusun, t.th). Berdasar data tersebut wilayah yang masuk Kabupaten Boyolali adalah Rambe, Sawahan, Tapen, Ketaon, Temon, Pabelan, Cabeyan, Bogor, Sembungan, Pager Gunung, Wangsanatan, Gunungpring, Bangsri, Sudimara, Sarapadan, Jetis, Krapyak, Juwangi, Repaking, Baberan, Tugu, Cemara, Ngendo, Tangkisan, Bababdan, Nogosari, Ngaten, Cepaka, Ketitang, Majasanga dan Karanganyar. Semuanya total ada 8702 karya. Pengertian karya disini adalah pekerjaan, jadi pembagian tersebut didasarkan pada pembagian pekerjaan bagi para abdi dalem keraton.
          Kondisi tersebut berjalan hingga kehancuran Keraton Pajang serta hancurnya Pengging, dan kedua kerajaan resmi menjadi kesatuan dengan Keraton Kartasoera dan Keraton Kasunanan Surakarta. Pengging secara resmi masuk wilayah Kasunanan Surakarta tepatnya pada tahun 1815 ketika nama Boyolali mulai muncul diiringi dengan perjalanan Ki Ageng Pandanaran menuju gunung jabalkat Tembayat Klaten. Perubahan status Kabupaten Boyolali juga mempengaruhi meleburnya Kerajaan Pengging dengan Boyolali (B.Shrieke. 1957;176. Jilid II).

Penutup
Demikianlah kondisi awal Pengging yang saat ini menjadi bagian dari Boyolali. Perlu diingat saat itu Boyolali belum lahir karena sistem pemerintahan ditangan Ki Ageng Kebo Kenanga yang berada di bawah Kerajaan Majapahit. Karena itu apabila kita berbicara tentang Kabupaten Boyolali mau tidak mau harus membuka catatan sejarah lebih jauh kembali ke jaman Kerajaan Majapahit, Demak dan Pajang. Kabupaten Boyolali muncul seiring dengan perpindahan Keraton Kartasura ke desa Sala, sehingga dalam urusan pemerintahan di bawah Keraton Kasunanan Surakarta sebagai akar pemerintahannya.
Seiring berjalanya waktu Banyudono yang awalnya bagian dari Pengging, saat ini menjadi kecamatan di bawah Kabupaten Boyolali dan Pengging masuk wilayah Kecamatan Banyudono. Pengging pada masanya bisa dikatakan sebagai “taman air” milik Keraton Kasunanan Surakarta. Keberadaan sumber mata air yang senantiasa mengalir di dekat  Pengging   dan  kegemaran Sunan Pakubuwana X berwisata mengakibatkan didirikannya sebuah tempat peristirahatan sementara di sana. Kecamatan Banyudono adalah salah satu Kecamatan yang masuk wilayah Boyolali, dan awalnya Banyudono sendiri masuk wilayah Pengging dibawah Kerajaan Demak. Dengan kata lain Banyudono sebelumnya hanya sebuah desa.
Pengging saat ini dikenal sebagai lokasi wisata air yang cukup strategis keberadaanya karena terletak diantara Semarang dan Solo.  Namun sejatinya   Pengging merupakan salah satu contoh sebuah kabupaten kecil yang mewakili 3 masa pada kejayaannya. Bahkan hingga saat ini beberapa peninggalan yang  keberadaanya masih dapat ditelusuri, diantara yakni Masjid Jami’ Ciptomulyo, Pesanggarahan Ngeksipurna, Makam Kebo Kanigoro, Pemandian Umbul Temanten, Umbul Duda, bekas Pabrik Pewarna Tekstil dan masih banyak lainnya.

Referensi

Serat Siti Dhusun Tanpa Tahun.
R Ng. Ranggawarsita. 1922. Serat Witortadio Ingkang Kaping III. Surakarta.
H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di  Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja  Mataram. Yogyakarta: Kanisius
Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu.
Ricklefs, M. C. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Shrieke, B. 1957. Indonesian Sociological Studies Part Two. Bandung : The Hague.














Ps: “Sparen erfgoed gebouwen, voordat het werd verwoest door de onverantwoordelijke”.

Trace op De Grote Postweg Soerabaja. Jembatan Merah sebagai Jantung Utama Kota Tua Surabaya. Yang Tersisa dari Mahakarya Kolonalisme k...