Lini
Masa Kabupaten Boyolali (1568-1755)
Masa
Pemerintahan Kerajaan Majapahit, Demak, Pajang, Pengging hingga Kartasoera.
Kejayaan
suatu bangsa dapat dilihat
dari keberadaan kerajaan-kerajaan besarnya. Tidak terkecuali Indonesia, banyaknya kerajaan di nusantara yang
memiliki ikatan satu sama lain dalam segala bidang, merupakan tanda bahwa
kejayaan suatu kerajaan tidak dapat dilepaskan dari kontribusi kerjaan lain. Hal yang sama juga berlaku
dengan proses berdirinya
sebuah kota/kabupaten, juga tidak dapat dilepaskan keberadaanya dari kerajaan
yang dahulu memiliki andil yang besar dalam kehidupan.
Selayang
Pandang
Periode
ini dipenuhi dengan
intrik dari masing-masing
kerajaan yang dilatar belakangi oleh politik, sosial dan budaya yang berbeda. Contoh yang paling menonjol adalah
kedatangan bangsa Eropa ke Jawa yang berawal dari perdagangan hingga berhasil
mencengkeram beberapa kerajaan di Indonesia adalah awal mula konflik yang
terjadi antar kerajaan.
Kongsi
dagang VOC sebagai perusahaan perdagangan dunia pada jamannya juga memainkan peran yang cukup
penting terhadap keberlangsungan kerajaan di Jawa. Masuknya agama Islam yang dibawa oleh
wali songo di sisi lain juga memberikan
dampak yang cukup nyata terhadap kerajaan Hindu-Budha di Jawa (Ricklef. MC. 1991;95).
Pengging
Masa Kini, Pengging Masa Lalu
Sebelum
bercerita lebih jauh disini saya akan menjelaskan secara singkat kerajaan mana yang
dimaksud. Kerajaan
tersebut adalah Pengging. Ya.
Memang
Pengging termasuk
dalam wilayah
Kabupaten Boyolali Kecamatan
Banyudono,
Daerah ini
sekarang lebih dikenal dengan Umbul
Sungsang
dan Umbul
Pengging,
akan tetapi jauh sebelumnya areal tersebut merupakan kerajaan besar yang
memiliki hubungan dengan Majapahit, Demak dan Pajang.
Sebagian
besar masyarakat setiap bulan Ruwah
(Jawa) berbondong-bondong menuju Pengging hanya untuk melakukan ritual padusan, sebagai sarana pembersihan diri
menyambut bulan Ramadhan. Sayang sekali banyak yang tidak mengetahui keberadaan
beberapa peninggalan masa lalu yang ada di sekitar umbul, disini saya mencoba
mengangkat beberapa peninggalan Pengging yang berkaitan dengan kerajaan Islam
di Jawa. Mangga ....
Kabupaten
Boyolali pada Masa Kerajaan Demak.
Kabupaten
Boyolali pada tahun 1847-1920 secara administrasi dan pemerintahan berada di
bawah kekuasaan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, akan tetapi jauh
sebelum tahun tersebut Boyolali sudah memiliki sistem pemerintahan tersendiri. Sebagian
sebagian di bawah pemerintahan kerajaan Demak dan
sebagian yang lain berada
di bawah kepemimpinan Pajang Kartasura. Daerah yang termasuk di bawah wilayah Kerajaan diantaranya
Bumi Pengging (R.Ng. Ronggowarsito, 1922).
Tahun
1478 ketika Kerajaan Majapahit diserang oleh Demak, Kerajaan Pengging juga
memiliki andil yang cukup besar dalam pertempuran. Hal tersebut terjadi
dikarenakan putri Prabu Brawijaya dari permaisuri Putri Campa (Dewi Amarwati)
yang bernama Retno Pembayun atau Dyah Ayu Retno Kedaton, dinikahkan dengan
Prabu Handayaningrat selaku Raja Kerajaan Pengging.
Pangeran
Handayaningrat kemudian diberikan gelar Ki Ageng Pengging Sepuh menikah dengan
Retno Pembayun dan melahirkan Ki Ageng Kebo Kenanga dan Ki Ageng Kebo Kanigara.
Seiring dengan berjalanya waktu Ki Ageng Kebo Kenanga lah yang akhirnya
mewarisi takhta kerajaan ayahandanya. Akan tetapi karena ulah sendiri dengan
cara menentang Kerajaan Demak, maka dia dijatuhi hukuman mati oleh Raden Patah dengan Sunan
Kudus selaku Panglima Kerajaan Demak sebagai eksekutor (H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001;120).
Pintu Masuk Kuncup Ki Ageng Kebo Kenanga
Bagian dalam cungkup
hanya terdapat satu makam berukuran besar yang merupakan makam Ki Ageng Kebo
Kenanga.
Silsilah Keluarga Ki
Ageng Pengging.
Pusara
makam Dyah Ayu Retno Kedhaton.
Pusara makam Dyah
Ayu Retno Kedathon yakni putri Pangeran Brawijaya V dari permaisuri Dewi
Amarawati (Putri Campa) yang ke 42. Makam ini berdiri tepat disamping Kedhaton
yang saat ini berubah menjadi “Umbul
Ngendhat”.
Banyak versi cerita tentang sepak
terjang Ki Ageng Kebo Kanigoro di
Pengging dan Majapahit yang
harus meninggalkan Pengging demi kemanan. Seperti
yang sudah saya jelaskan di atas bahwa Ki Ageng Kebo Kanigara merupakan anak
dari Pangeran Handayaningrat dan Dewi Amarawati sekaligus kakak dari Kebo Kenanga.
Akan tetapi yang paling berpengaruh terhadap Pengging adalah Kebo Kenanga
sebagai pewaris takhta yang kemudian digantikan anaknya yakni Jaka Tingkir (Purwadi. 2007;25).
Peninggalan
Ki Ageng Kebo Kanigoro yang ada di Boyolali sebagian besar berupa petilasan Beliau ketika melakukan tirakat atau
nyepi, di luar
lingkungan keraton saat kehidupan duniawi sudah mulai kacau. Beberapa catatan
sejarah menjelaskan bahwa sepak terjang Ki Ageng Kebo Kanigoro sangatlah luas
dan beragam versi, salah satunya adalah beliau dimakamkan di Butuh Sragen akan
tetapi memiliki beberapa petilasan yang diyakini warga sebagai makamnya. Mana makam yang sebenarnya, Waallahu’alam.
Petilasan
Ki Ageng Kebo Kanigoro
Pintu gapura
petilasan Ki Ageng Kebo Kanigoro.
Ruangan pertapaan Ki
Ageng Kebo Kanigoro.
Petilasan
Ki Ageng Kebo Kanigoro berada di beberapa daerah di sekitar Pajang dan
Pengging, hal tersebut dikarenakan mengasingkan dirilah yang menjadikan beliau tidak diketahui secara pasti dimana
rimbanya. Bekas wilayah
Kerajaan Pengging yang saat ini menjadi bagian dari Boyolali diantaranya yakni Pengging, Sudimara, Salembi,
Kragilan dan Mojosongo.
Kabupaten
Boyolali pada Masa Kerajaan Pajang.
Mari
kita beranjak ke periode dimana Pengging berada di dalam Kerajaan Pajang. Antara
tahun 1568-1586 daerah Pajang dan Pengging berada di bawah kepemimpinan Sultan
Hadiwijaya, atau biasa disebut dengan Joko Tingkir, putra Ki Kebo Kenanga. Hal
tersebut terjadi karena secara garis keturunan Joko Tingkir adalah cicit dari
Prabu Brawijaya V dari permaisuri Putri Campa, sehingga memiliki derajat lebih
tinggi untuk berkuasa.
Wilayah
Bumi Pajang yakni Pajang, Laweyan, Wanakerta, Sawahan, Tapen dan Randu Gunting. Antara
wilayah Demak dan Pajang dipisahkan oleh aliran sungai akan tetapi keduanya
masuk Negara Agung dan merupakan tempat tanah lungguh bagi para sentana dan abdi dalem kerajaan (Serat Siti Dhusun,t.th). Beberapa daerah
Kerajaan Pengging dan Pajang yang saat ini menjadi kesatuan dengan Kabupaten
Boyolali diantaranya Pengging, Kragilan, Teras dan Slembi. Sedangkan bagian Keraton
Pajang diantaranya adalah Pajang kulon dan Simo.
Kabupaten
Boyolali pada Masa Kerajaan Mataram 1575-1755
Periode akhir Pengging berlangsung
pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) daerah kekuasaan Pajang dibagi
menjadi dua bagian, yakni sebelah barat disebut dengan Bumi Panumping dan
bagian timur disebut dengan Bumi Panekar. Sedangkan daerah Demak dan Pajang
sendiri disebut dengan Bumi Gedhe. Istilah “Bumi” disini adalah tanah lungguh
para abdi dalem keraton yang kemudian menjabat sebagai pejabat setempat di
bawah pengawasan keraton.
Daerah
yang masuk wilayah Bumi Panumping diantaranya adalah Salembi, Pengging,
Banyudono, Sawit dan barat wilayah Surakarta yang sekarang menjadi bagian
Kabupaten Boyolali. Untuk daerah Bumi Panekar wilayahnya meliputi Sawahan,
Tapen, Randu Gunting, Pabelan, Getas, Ketaon, Semampir, Ketitang, Salakan dan
Prembun. Wilayah
yang termasuk Bumi
Gedhe yakni Bandung, Sutananggan, Jelapa, Bandoengan, Koripan, Ceper,
Kaligesing dan Jetis. Beberapa daerah yang telah disebutkan di atas saat ini
termasuk wilayah Kabupaten Kartasura, Kabupaten Boyolali, Kecamatan Ampel, dan
sekitar Ungaran.
Tahun
1727 masa pemerintahan Sunan Pakubuwana II, Kartasura dibagi menjadi menjadi
daerah Bumi Gede Kiwa dan daerah Bumi Gede Tengen, maksudnya adalah Bumi Gede
Kiwa daerah yang berada di sebelah kiri dan dekat dengan jalan raya Semarang
sedangkan Bumi Gede Tengen adalah daerah yang berada di kanan dan dekat jalur
menuju Solo. Pengertian Kiwa dan Tengen ini merujuk pada keberadaan Keraton
Kartasura (B. Schrieke, 1957; 179 jilid
II).
Keraton
Kartasura memiliki daerah yang sebagian saat ini masuk wilayah Boyolali, dan tujuannya
diantaranya yakni untuk pengawasan terhadap segala aktifitas yang terjadi di
wilayahnya. Daerah tersebut yakni Bumi Penumping dan Bumi Pangrembe pembagianya
yakni, Bumi Penumping meliputi Pajang bagian barat dan Bumi Pangrembe meliputi
Grogol, Kemusu, Simo yang saat ini masuk di wilayah Kabupaten Boyolali.
Dengan
kata lain desa-desa yang masuk dalam wilayah Pajang yakni gabungan dari Bumi
Penumping dan Bumi Paneker (Serat Siti
Dhusun, t.th). Berdasar data tersebut wilayah yang masuk Kabupaten Boyolali
adalah Rambe, Sawahan, Tapen, Ketaon, Temon, Pabelan, Cabeyan, Bogor,
Sembungan, Pager Gunung, Wangsanatan, Gunungpring, Bangsri, Sudimara,
Sarapadan, Jetis, Krapyak, Juwangi, Repaking, Baberan, Tugu, Cemara, Ngendo,
Tangkisan, Bababdan, Nogosari, Ngaten, Cepaka, Ketitang, Majasanga dan
Karanganyar. Semuanya total
ada
8702 karya.
Pengertian
karya disini adalah pekerjaan, jadi pembagian tersebut didasarkan pada
pembagian pekerjaan bagi para abdi dalem keraton.
Kondisi
tersebut berjalan hingga kehancuran Keraton Pajang serta hancurnya Pengging,
dan kedua kerajaan resmi menjadi kesatuan dengan Keraton Kartasoera dan Keraton
Kasunanan Surakarta. Pengging secara resmi masuk wilayah Kasunanan Surakarta
tepatnya pada tahun 1815 ketika nama Boyolali mulai muncul diiringi dengan
perjalanan Ki Ageng Pandanaran menuju gunung jabalkat Tembayat Klaten.
Perubahan status Kabupaten Boyolali juga mempengaruhi meleburnya Kerajaan
Pengging dengan Boyolali (B.Shrieke. 1957;176. Jilid II).
Penutup
Demikianlah kondisi
awal Pengging yang saat ini menjadi bagian dari Boyolali. Perlu diingat saat itu Boyolali
belum lahir karena sistem pemerintahan ditangan Ki Ageng Kebo Kenanga yang
berada di bawah Kerajaan Majapahit. Karena itu apabila kita berbicara tentang Kabupaten Boyolali
mau tidak mau harus membuka catatan sejarah lebih jauh kembali ke jaman
Kerajaan Majapahit, Demak dan Pajang. Kabupaten Boyolali muncul seiring dengan
perpindahan Keraton Kartasura ke desa Sala, sehingga dalam urusan pemerintahan
di bawah Keraton Kasunanan Surakarta sebagai akar pemerintahannya.
Seiring
berjalanya waktu Banyudono yang awalnya bagian dari Pengging, saat ini menjadi
kecamatan di bawah Kabupaten Boyolali dan Pengging masuk wilayah Kecamatan
Banyudono. Pengging pada masanya bisa dikatakan sebagai “taman air” milik Keraton Kasunanan Surakarta. Keberadaan sumber mata air yang
senantiasa mengalir di
dekat Pengging dan kegemaran Sunan
Pakubuwana X berwisata
mengakibatkan didirikannya sebuah tempat peristirahatan sementara di sana. Kecamatan Banyudono
adalah salah satu Kecamatan yang masuk wilayah Boyolali, dan awalnya Banyudono
sendiri masuk wilayah Pengging dibawah Kerajaan Demak. Dengan kata lain
Banyudono sebelumnya hanya sebuah desa.
Pengging
saat ini dikenal sebagai lokasi
wisata
air yang cukup strategis keberadaanya karena terletak diantara Semarang dan Solo. Namun
sejatinya Pengging merupakan salah satu contoh sebuah
kabupaten kecil yang mewakili 3 masa
pada
kejayaannya.
Bahkan hingga saat ini beberapa peninggalan yang keberadaanya masih dapat
ditelusuri,
diantara yakni Masjid Jami’ Ciptomulyo, Pesanggarahan Ngeksipurna, Makam Kebo
Kanigoro, Pemandian Umbul Temanten, Umbul Duda, bekas Pabrik Pewarna Tekstil dan
masih banyak lainnya.
Referensi
Serat
Siti Dhusun Tanpa Tahun.
R
Ng. Ranggawarsita. 1922. Serat Witortadio
Ingkang Kaping III. Surakarta.
H.J.de Graaf dan T.H.
Pigeaud. 2001. Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Moedjianto.
1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
Purwadi. 2007. Sejarah
Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu.
Ricklefs, M. C. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press.
Shrieke,
B. 1957. Indonesian Sociological Studies
Part Two. Bandung : The Hague.
Ps: “Sparen erfgoed gebouwen, voordat het werd
verwoest door de onverantwoordelijke”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar