Jumat, 07 April 2017

Kantor Pengadilan Pradhata, “Gedung Berasitektur Panggung Berbahan Kayu Jati yang Mulai Kehilangan Jati Diri”



Gedung Pengadilan Pradhata Kabupaten Bojalalie

Sekapur Sirih
Salah satu peninggalan pada masa kolonial di Boyolali yang masih bertahan hingga saat ini  dan jarang mendapat perhatian ini akan coba saya angkat ke permukaan supaya dapat diketahui oleh masyarakat umum, tidak lain dan tidak bukan peninggalan tersebut yakni Gedung Pengadilan Pradhata. Untuk masyarakat Boyolali terlebih yang tinggal di pusat kota sudah banyak yang mengetahui keberadaan bangunan dengan lahan yang luas nan rimbun ini, akan tetapi menurut khazanah ilmu pengetahuan adanya bangunan kuno ini sangat sedikit yang mengetahuinya. Keberadaan bangunan kuno ini meskipun dekat dengan pusat kota, akan tetapi dari segi kesejarahanya dengan Kabupaten Boyolali seakan terpinggirkan. Seperti apa kondisi bangunan kuno bekas Gedung Pengadilan Pradhata ini? Persiapkan diri anda....

Arah menuju Gedung Pengadilan Pradhata


Lokasi Gedung Pengadilan Pradhata sumber citra satelit

Gedung Pengadilan Pradhata ini berdiri di Jalan Duren, Kelurahan Siswodipuran, Kecamatan Boyolali  Kota, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Gedung utama menghadap barat arah jalan duren dan berlokasi di sekitaran rumah dinas PT KAI. Gedung ini memiliki batasan yakni bagian barat berbatasan dengan jalan  duren dan rumah dinas, bagian utara berbatasan dengan rumah makan bakso remaja, bagian timur berbatasan dengan rumah warga dan selatan berbatasan dengan rumah dinas lainya. Atau dengan kata lain memasuki Kabupaten Boyolali carilah bakso remaja di kiri jalan sebelah selatan kantor pos, masuk keselatan kurang lebih 15 meter di kiri jalan.

Catatan Sejarah Gedung Pengadilan Pradhata


                                          Sumber ; maps.library.leiden.edu.

Seperti yang kita ketahui bahwa Kabupaten Boyolali dalam riwayatnya dijelaskan Kabupaten Boyolali berdiri pada tanggal 5 Juni 1847 dengan bupati pertama, bernama RT. Suto Nagoro sebagai Bupati Pulisi, merupakan salah satu kota kabupaten di Indonesia yang di dirikan oleh pihak Kolonial dan Keraton Kasunanan Surakarta,  nama pertama kali yang digunakan adalah Kabupaten Gunung Pulisi. Pada tahun 1847 Pemerintah Kasunanan mengeluarkan peraturan baru yang membahas tentang Pemerintah Dhusun. Alasannya bahwa, Pemerintah Kasunanan diwakili oleh Pemerintah Bale Mangoe (Staatsblad van Nedherlandsch-Indie 1847)sudah tidak bisa menjalankan segala urusan pemerintahan yang semakin rumit di daerah.

Tahun 1847 diadakanlah perjanjian antara kasunanan diwakili Sunan Paku Buwana VII dengan Pemerintah Kolonial Belanda, yang menyebutkan dibutuhkanya abdi dalem gunung yang berkewajiban menjaga tata tertib dan keamanan kota kabupaten dan mengurusi pemerintahan. Sejak perjanjian tahun 1847 disahkan, maka Pemerintahan Bale Mangu resmi dihapus (Staatsblad van Nedherlandsch-Indie 1847 No. 30. Bab II).

Berdasarkan perjanjian tersebut Bupati Gunung Pulisi ditetapkan oleh sunan dengan persetujuan Pemerintah Belanda yakni Residen Surakarta. Berdasarkan dari Staatsblad van Nedherlandsch-Indie 1847 tersebut, Pemerintah Kasunanan Surakarta membentuk enam daerah Kabupaten Gunung, yakni : Kabupaten Gunung Kota Surakarta, Kartasura, Klaten, Bojolali, Wonogiri dan Sragen. Berfungsi sebagai pembantu pelaksana pemerintahan daerah. Sehingga para bupati pulisi diberikan tugas mengatasi masalah keamanan dan ketertiban daerah.

Seiring berjalannya waktu dan masalah semakin rumit di Kabupaten Gunung Pulisi, maka Belanda merubah Peraturan Tanggal 24 Maret 1854 No. 615 menjadi peraturan Pemerintah Kasunanan 1854 No I, perubahan tersebut tertuang pada Staatsblad van Nedherlandsch-Indie 1854 No. 32 yang menjelaskan pendirian  Pengadilan Pradata pada setiap Kabupaten, dimana Bupati Pulisi sebagai Residen dibantu dengan kaum atau rakyat pribumi. Boyolali yang waktu itu merupakan wilayah Kasunanan Surakarta, menjadikan Pengadilan Pradata tersebut juga didirikan di Boyolali (Staatsblaad van Nedherlandsch-Indie 1874 No. 209).

Tujuan didirikanya pengadilan ini karena masih seringnya pelanggaran yang terjadi, maka Pemerintah Kasunanan dan Pemerintah Kolonial pada tahun 1874 menyerahkan sepenuhnya kepada Pradata Kabupaten. Serah terima tersebut terjadi pada tanggal 8 September 1874 dan tertuang pada Staatsblad van Nedherlandsch-Indie 1874 No. 209 yang berisi tentang pelaksanaan ketertiban dan keamanan setiap kabupaten. Tahun 1874 merupakan berdirinya Pengadilan Pradata Kabupaten sekaligus penempatan wakil Belanda dengan pangkat Asisten Residen di Boyolali. Dengan adanya Asisten Residen, maka terdapat Abdi Dalem Kasunanan dan Abdi Dalem Gupermen. Abdi Dalem Kasunanan di bawah kuasa Bupati Pulisi sedangkan Abdi Dalem Gupermen di bawah kekuasaan Asisten Residen. Sejak dipimpin  Asisten Residen, maka Bupati memiliki dua atasan yakni Patih Dalem dan Asisten Residen.

Pada tahun 1918 terjadi penggantian nama Bupati Pulisi dan para Abdi Dalem menjadi Abdi Dalem Pangreh Praja didasarkan dari Pranata Pepatih Dalem No. 383 (Rijksblaad Surakarta 1918 No. 23). Dengan berubahnya status Kabupaten Gunung Pulisi Boyolali menjadi Kabupaten Pangreh Praja, maka kepala pemerintahan dipimpin oleh Bupati Pangreh Praja, Bupati Anom, Wedana dan Asisten Wedana pada tanggal 12 Oktober 1918. Pada tahun pergantian status ini, berubah juga perihal keamanan dan pemerintahan di Kabupaten Pangreh Praja.

Menjelajahi Kawasan Gedung Pengadilan Pradhata
        
       Sebelum memulai menjelajahi gedung ada baiknya kembali sejenak kepada rumah adat tradisional khas Jawa, kenapa membayangkan rumah model tradisional Jawa? mungkin itulah pertanyaan yang terbesit di dalam pikiran kita. Akan tetapi itulah bekal awal untuk mengunjungi gedung ini, ya supaya tidak tekejut dengan kemegahanya bangunan itu pada jamanya. Wilayah sekitaran gedung hingga saat ini juga masih mempertahankan kondisi awalnya dengan rimbunya pohon vinisum sepanjang jalan dan beberapa rumah dinas PT KAI yang masih bertahan. 
Tanpa panjang lebar langsung saja menuju ke gedung pengadilan ini ...


Fasade depan gedung Pengadilan Pradhata

Dari segi arsitektur layout  bangunan berbeda dengan bangunan pengadilan yang didirikan oleh Belanda, hal ini didasarkan atas berdirinya bangunan ini sendiri tahun 1847 ketika Boyolali masih dihuni oleh masyarakat Jawa. Akan tetapi desain bangunan memiliki kesamaan dengan rumah dinas di sekiatarnya, akan tetapi tetap dengan perbedaan yang mencolok, yakni tritisan pada bagian depan yang memanjang akan tetapi tidak melebar layaknya bangunan lain.


Denah Gedung Pengadilan Pradhata

Ruang gedung utama memiliki 4 ruang utama yang saling terhubung dan menghadap lorong menuju pintu depan dan belakang. Kamar depan terhubung dengan kamar samping, sedangkan kamar lainya terpisah. Kondisi kamar masih relatif utuh hanya saja bagian lantai mulai dicuri, plafond masih menggunakan kayu dan terlihat utuh. Kondisi ruang tamu dan masih menggunakan lantai kayu, dan bagian jendela kaca-kaca mulai pecah. Dinding bangunan luar dan dalam masih kayu jati dan relatif utuh, akan tetapi bagian pintu depan mulai hancur.

Berpijak dari denah tersebut kondisi di dalam gedung tidak jauh berbeda dari rumah tinggal pegawai di wilayah vorstenlanden Surakarta dan sekitarnya yang dahulu adalah pegawai  kereta tram yang dioperasikan oleh “Soloche Tramweg Maatschappij” atau SoTM yang kemudian di nasionalisasi menjadi aset kereta api Indonesia.

Kondisi gedung saat ini relatif utuh hanya saja kosong, dan dibiarkan mangkrak, dengan tumbuhan liar cukup tinggi menyelimuti gedung. Gedung ini memiliki fasilitas berupa kamar mandi, dapur dan kamar belakang yang terhubung dengan gedung utama dengan sebuah lorong. Posisi ruang belakang lebih rendah daripada gedung utama. Gedung ini memiliki tiang bendera pada bagian depan dengan logo huruf “Y” terbalik.


Fasade depan dilihat dari halaman depan


Fasade gedung dilihat dari sudut kiri gedung


Hiasan pada bagian bawah jendela dengan konstruksi kayu pada bagian bawahnya, dan mulai terlihat pecahnya beberapa kaca.

Memasuki bagian dalam rumah mulai disambut dengan kelembaban yang tidak sedap untuk dihirup, dan kondisi ruang cenderung kosong dan gelap layaknya sebuah rumah khas kolonial yang ditinggalkan merana sendiri. Rumah ini dalam konstruksinya memakai kayu jati alas, kayu jati alas itu didatangkan dari Kecamatan Juwangi atau Kabupaten Boyolali paling utara. Kayu-kayu ini dibawa menggunakan kereta tetapi bukan kereta api uap besar, dan langsung menuju ke kota Kabupaten Boyolali.


Kondisi salah satu pintu menuju ruang belakang, terlihat seharusnya bagian lubang ventilasi terdapat hiasanya tetapi sudah hilang.

           Tempat tinggal / pemerintahan jaman kolonial cenderung menggunakan daun pintu dan jendela yang tinggi dengan tujuan sirkulasi udara dan cahaya dapat maksimal. Uniknya adalah ketika penggunaan pintu dan jendela yang besar dan tinggi juga biasanya menggunakan ventilasi dengan hiasan “Dharmacakra” yakni  lingkaran  yang dikellingi oleh anak panah, yang merupakan simbol dari bentuk metafora dunia, penciptaan, roda kehidupan dan keabadian. Mandala atau lingkaran merupakan simbol agama Buddha dan Taoisme(Pratiwo : 230., Arsitektur Tradisional Tionghoa dan Perkembangan Kota). Akan tetapi pengaplikasianya terhadap bangunan permanen, mewah dan lodge-lodge yang menggunakanya.


Bagian pintu dari ruang depan


Kondisi terkini bagian dalam tepatnya bagian lorong utama rumah dengan kondisi kerusakan yang parah.

Dari dua gambar diatas terlihat jelas perbedaan kondisi, yakni kerusakan yang terjadi pada bagian lantai dan plafond.


Tampak gedung sebelah utara, dengan kondisi jendela yang ditutup dan dikunci dengan kayu

Kondisi bangunan ketika penulis berkunjung sekitar tahun 2014, cukup bersih meskipun masih terdapat beberapa rumput yang meninggi di beberapa sudut. Darisini dapat kita lihat bahwa gedung ini mirip sekali dengan konsep rumah pribadi.


Kondisi bawah tanah dari gedung pengadilan dengan tangga kecil sebagai akses menuju bagian bawah, dan harus sedikit jongkok untu dapat berada di bawah tanah.


Kondisi umpak atau pondasi gedung dengan ketinggian kurang lebuh 30 cm diatas tanah


Kondisi bagian pondasi gedung lengkap dengan konstruksi penyangga.

Gedung pengadilan ini memiliki konstruksi panggung, dengan bahan bangunan kayu jati untuk rangka bangunan. Bagian bawah gedung ditopang  umpak sebagai dudukan pondasi gedung, ketinggian sekitar 40 cm dengan umpak sejumlah 8 sudut  (selatan 2, utara 2, tengah 4 sudut) sebagai kaki-kaki pondasi. Gedung memiliki ruang bawah tanah yang difungsikan sebagai bak penampungan air dengan kedalaman 40 cm sekaligus ruangan tambahan (diasumsikan dahulu difungsikan sebagai ruang tahanan). Hal ini dikarenakan untuk menuju bawah tanah terdapat anak tangga untuk mengakses kebawah dengan posisi merangkak. Sesampai di ruang bawah tanah posisinya harus berjongkok karena kondisi ruang yang cukup rendah.



Kondisi ruang kamar dengan kerusakan yang cukup parah pada bagian lantai dan pintu yang hilang entah kemana.


Pintu sebelah timur sekaligus akses dari gedung utama menuju ruang belakang


Kondisi genting pada bagian belakang gedung dengan ketinggian kurang lebih 90 cm


Kondisi kamar mandi belakang dengan sistem dua bak mandi, atas bawah dengan ukuran berbeda


Bak air dengan dua tingkat sangat lazim dipergunakan dalam sistem kamar mandi rumah-rumah khas Belanda dengan tujuan antara lain, yakni bak atas / besar biasanya dipergunakan sebagai penampung air untuk mandi dan bak bawah / kecil biasanya digunakan sebagai sarana cuci dan kakus. Konstruksi irengular bond atau satu bidang batu bata merah / tembok dengan ketebalan kurang lebih 60 cm seperti halnya bangunan kolonial lainya, hanya diaplikasikan pada pondasi dan tembok keliling gedung selebihnya itu murni kayu jati tua.



Kondisi bagian luar gedung pengadilan pradhata.


                             Logo sekaligus tiang bendera yan terletak persis di depan gedung

Foto bagian fasade depan diatas adalah merupakan perbandingan dengan foto bagian depan yang menjadi pembuka artikel diatas. Kondisi saat ini gedung kosong tak berpenghuni dan cenderung mengalami kerusakan yang cukup parah, meskipun kondisi bangunan dari luar masih cenderung utuh tetapi bagian dalam rusak. Kurangnya perhatian dari berbagai pihak juga merupakan faktor kerusakan yang terjadi pada setiap bagian gedung. Gedung ini awal mula perkembangan pengadilan di Kabupaten Boyolali dengan segala keunikan setiap sudut yang semakin lama mengalami kelemahan dan kesakitan.

Penutup

Berakhirlah penjelajahan sekaligus observasi di bekas gedung pengadilan pradhata di Boyolali yang semakin lama mengalami kelemahan menerpa perkembangan jaman yang semakin modern. Gedung yang berdiri tahun 1847 ini berada di posisi yang cukup strategis dan berada dekat dengan pusat kota, sangat jauh dari perhatian pemerintah dan warga yang menempati rumah disekitaran gedung. Hilangnya beberapa kayu jati asli merupakan salah satu luka yang mendalam bagi saya, khususnya sebagai generasi penerus di Kabupaten Boyolali yang merasakan. Kabupaten Boyolali banyak sekali cagar budaya yang semakin terdesak keberadaanya. Yaaa.. Semoga saja sakit yang dialami gedung ini segera terobati dan dapat dialih fungsikan menjadi sesuatu yang berharga suatu saat nanti.

Daftar Referensi

Staatsblad van Nedherlandsche-Indie 1847, No.30.
Staatsblad van Nedherlandsche-Indie 1874, No. 209.
Serat Perdjadjian Dalem Ingkang Sinoehoen Kandjeng Soesoehoenan Kaping VII Kalijan Kandjeng Goeperment Walandi-Nederland Bab Pangadilan Pradoto, Kadipaten, Soerambi.
Serat Kontrak Perdjandjian Ingkang Sinoehoen Kandjeng Soesoehoenan Pakoe  Boewono IX Kalijan Kandjeng Goevernement Tahoen 1874 Kamot Ing Serat Staatsblad 1874, No.209.
Hadinoto. 2000. Perkembangan Kota di Jawa Abad XVIII sampai Pertengahan Abad XX. Yogyakarta : Ombak.
Pratiwo : 230., Arsitektur Tradisional Tionghoa dan Perkembangan Kota








Trace op De Grote Postweg Soerabaja. Jembatan Merah sebagai Jantung Utama Kota Tua Surabaya. Yang Tersisa dari Mahakarya Kolonalisme k...