Sang Mahakarya dari
Oengaran: Gedong Koening,
Pembuka
Ungaran kota kecil yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Semarang ini menyimpan beberapa harta karun terpendam yang masih jarang mendapat perhatian dari masyarakat dan para pelancong dari luar kota. Beberapa diantara harta karun yang tersembunyi di Kota Ungaran adalah Benteng Willem II yang sekarang menjadi asrama polisi Ungaran, sekolahan, kantor, tempat hiburan atau soos (societeiet) hingga rumah-rumah pribadi. Tulisan kali ini saya akan coba membahas keberadaan rumah berjuluk Gedong Koening yang cukup tersohor saat ini.
Ungaran kota kecil yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Semarang ini menyimpan beberapa harta karun terpendam yang masih jarang mendapat perhatian dari masyarakat dan para pelancong dari luar kota. Beberapa diantara harta karun yang tersembunyi di Kota Ungaran adalah Benteng Willem II yang sekarang menjadi asrama polisi Ungaran, sekolahan, kantor, tempat hiburan atau soos (societeiet) hingga rumah-rumah pribadi. Tulisan kali ini saya akan coba membahas keberadaan rumah berjuluk Gedong Koening yang cukup tersohor saat ini.
Ungaran
Tempo Doeloe
Periode
Hindu merupakan awal mula Ungaran
disebut-sebut sebagai cikal bakal sebuah Kota. Masa itu terdapat
tiga jalur utama menuju kerajaan besar yang berlokasi di Jawa Timur saat ini. Jalur
tersebut diantaranya melalui Jepara yang merupakan kota pelabuhan, dan jalur lainnya melalui Srondol, Ungaran, Salatiga dan
Boyolali. Jalur utama adalah melalui Tegal
dan Banyumas, tetapi dengan kondisi jalan yang cukup terjal, membutuhkan waktu 12 hari untuk mencapai Ibukota Kerajaan. Jalur ketiga dan
terakhir adalah Blambangan yang saat ini menjadi bagian dari Banyuwangi dan
diakhiri di Pasoeroean dan Kediri.
Kota Ungaran
berada tepat diantara dua Kota yakni Semarang dan Salatiga, Tepatnya berada di antara Srondol, Semarang dan Salatiga. Ketiga kota
ini memiliki ikatan sejarah yang cukup kental dan berkesinambungan, yakni kedatangan militer Belanda dan pertemuan antara pihak Belanda
dengan Sinuhun Pakubuwana II selaku raja Keraton Kartasura.
Awal
mula Belanda memulai kolonisasi di pedalaman Jawa. Desa-desa yang letaknya
strategis dan berada di sepanjang jalur Semarang-Surakarta dijadikan
sebagai basis militer juga tempat peristirahatan.
Pengamanan jalur transportasi yang awalnya masih berupa jalan berpasir tanpa
adanya pengamanan dari pihak Belanda, mengakibatkan Belanda mulai
menempatkan pasukannya di beberapa desa guna mengamankan jalur. Ketika
Gubernur Jenderal Gustave Willem Baron van Imhoff melakukan perjalan ke Jawa tahun 1746, beliau memulai perjalanan dari Semarang
untuk mengunjungi Kerajaan Mataram melalui Ungaran untuk bertemu dengan Susuhunan Pakubuwana II (Campbeel. 1915: 486).
Keistimewaan
Ungaran adalah bertipe kota militer, ditandai
dengan didirikanya benteng pada tahun 1746 bernama “De Outmoeting”, yang digunakan sebagai tempat rapat antara
Gubernur Jenderal Barron van Imhof dengan Sunan Pakubuwana II. Kerjasama antara
kedua pihak ini tidak bisa dilepaskan dari peristiwa geger pecinan tahun 1742.
Peristiwa tersebut merupakan salah satu dampak yang dari meningkatnya
kedatangan orang Tionghoa ke Batavia, mengakibatkan orang Tionghoa yang
berhasil masuk Semarang dan sekitarnya memberontak ke pihak Belanda yang waktu
itu diwakili oleh VOC (Tim Penyusun. 2012: 116).
Referensi pendukung berupa majalah dan koran terbitan jaman Belanda, juga mengungkapkan bahwa Ungaran dahulu bernama Oenarang yang merupakan jalur utama menuju Kerajaan Mataram. Dijelaskan juga terdapat benteng yang digunakan sebagai pusat pertemuan antara Eropa, Jawa dan Tionghoa. Sehingga ketika peristiwa geger pecinan atau penyeranggapan Sunan Kuning dibantu kompeni terhadap Kraton Kartasura terjadi Ungaran memiliki andil yang cukup besar.
Kehidupan
di Ungaran masa itu mayoritas dihuni oleh bangsa Eropa yang bekerja di sektor
pemerintahan dan swasta, antara lain sebagai detasemen kepolisian, militer, pemilik perkebunan dan perusahaan. Hal ini semakin kental semenjak munculnya
Undang-Undang Agraria yang menyebutkan pemilik modal dan usaha diberikan hak
untuk menguasai perusahaan masing-masing. Dengan dibukanya kesempatan investor swasta untuk menamkan modal munculah perkebunan milik Eropa dan Cina disekitarnya,
sehingga munculah beberapa nama firma Eropa dan Cina penguasa perkebunan.
Keberadaan Ungaran yang terletak persis di jalan raya pos atau jalan daendels
dengan iklim yang cocok untuk perkebunan, mengakibatkan Ungaran memiliki
hamparan perkebunan penghasil nilai export tinggi di dunia saat itu. Ungaran
yang sarat akan sumber daya alam dan bernilai tinggi adalah salah satu alasan
pendirian perkebunan penghasil komoditi berupa kopi, teh dan pala.
Jejak
Keberadaan Gedong Koening
Peta kompleks Gedong Koening
Ungaran, terlihat terdapat areal perkebunan Kalidodol dengan simbol Og.
Kalidodol dari peta tahun 1924. Sumber: maps.library.leiden.edu.
Keberadaan
gedung ini tidak bisa dilepaskan dari adanya beberapa perkebunan di sekitar
Ungaran diantaranya adalah kopi, kina, cokelat, dan kapuk yang masing-masing
dimiliki perusahaan asing misalnya adalah Go Boen Kwan. Berdasarkan buku Lijst van Ondernemingen in
Nedherlandsch Indie 1914, Batavia Landsrukkerij
administrateur perusahan di bidang perkebunan tersebut diantaranya yakni Ch F Houtman 5 September 1911 dan H Bosch 14
Juli 1911 (Anonim. 1914: 197).
Bercerita
tentang Gedong Kuning yang berdiri sekitar tahun 1916-berdasarkan inkrispi yang
ada-tidak bisa dilepaskan dari beberapa faktor diantaranya, lokasi yang
strategis untuk mengembangkan bisnis berupa perkebunan dan suasana yang sejuk karena
berada di kaki gunung Ungaran. Bangunan yang berdiri megah ditengah ramainya
jalan raya Semarang-Solo ini, bisa dikatakan tidak menyerah menghadapi kerasnya
jaman.
Warna
kuning pudar yang mencolok seakan menarik perhatian bagi penikmat bangunan
kuno. Akan tetapi untuk dapat memasuki wilayahnya harus ekstra hati-hati karena
akses masuk mendekat cukup sulit, namun ketika dilihat dari dekat kesan yang ditangkap adalah "luar biasa". Sehingga hipotesis saya Gedong Kuning ini
awalnya merupakan rumah peristirahatan bagi administrateur perkebunan sekaligus
societeiet bagi tuan dan nyonya kulit
putih, akan tetapi hipotesis ini masih perlu kajian lebih lanjut.
Jelajah
Gedong Koening Oenarang
Kunjungan
pertama saya ke Gedong Kuning Ungaran ini pada tahun 2014 dalam perjalanan
menuju Semarang bersama seorang teman dari Boyolali. Butuh waktu kurang lebih 1 jam perjalanan untuk menuju
lokasi, dan satu jam berikutnya kami habiskan untuk berkeliling dan berbincang
dengan penduduk setempat.
Kondisi fisik
Gedong Koening Oenarang dengan sisa kejayaan di masanya. Terlihat warna tembok
yang masih asli dari dulunya hingga saat ini, dan penggunaan dormer atau jendela diatas genting
dengan tujuan mensirkulasi udara di atas plafond supaya tidak panas bagi penghuninya.
Saat
kunjungan pertama tersebut, kami disambut
oleh beberapa keluarga purnawirawan TNI yang dengan senang hati menceritakan
tentang masa lalu dan kondisi terkini bangunan berjuluk Gedong Kuning ini. Meskipun
kondisi atap utama yang berupa balkon-balkon kecil di puncak terlihat mulai
roboh, namun secara fisik bangunan bisa dikatakan masih cukup kokoh. Kerusakan
atap tersebut lebih banyak disebabkan oleh faktor cuaca dan tentu saja usia.
Saat itu, warga yang kami temui tidak banyak bercerita tentang kepemilikan
bangunan tersebut dengan alasan keamanan.
Warga menyakini bahwa gedong ini dahulunya digunakan sebagai rumah
tinggal keluarga Belanda, dan digunakan juga sebagai societeiet warga kulit putih
yang berkoloni di Ungaran. Lantas apakah bangunan ini memang layak digunakan sebagai kamar bola? Jawaban itu akan
ditemukan dalam perjalanan menyusuri “organ dalam” Gedong Kuning ini.
Dengan
bantuan dan ijin dari RT setempat serta
pengawalan dari keluarga purnawirawan
militer, saya memberanikan diri masuk ke dalam ruangan dan betul saja apa yang
diceritakan ke saya. Cerita tersebut masuk akal karena bagian dalam cukup lebar
dan bisa untuk melakukan pesta, sedangkan lantai dua digunakan sebagai kamar
tidur dan balkon untuk merokok, minum liquor
dan menikmati udara sejuk. Pemandangan yang langsung menghadap gunung Ungaran dan perkebunan menambah kesan mewah pada masa
itu.
Kondisi dari
balkon lantai dua sisi selatan, menghadap ke timur dan terlihat jarak antara
rumah dan jalan raya utama di batasi oleh lapangan sepak bola.
Kondisi
tersebut membuka kemungkinan fungsi lain dari balkon adalah untuk menikmati
pertandingan sepak bola atau latihan militer. Sama dengan kondisi Pura
Mangkunegaran Solo yang dilengkapi dengan pamedan untuk latihan perang pasukan Kavalerie Artileri. Sayang kondisi
balkon di sisi utara dan timur cukup sulit diakses, akan tetapi fungsi balkon
di utara sama halnya dengan balkon sisi selatan.
Menariknya
lagi pemandangan dari dua balkon yakni utara dan selatan, dapat mengawasi
gerak-gerik pekerja di perkebunan belakang rumah. Perkebunan yang dimaksud di
sini adalah perkebunan kopi, kapuk dan tanaman bernilai jual tinggi untuk melunasi utang-utang pemerintah.
Dapat dikatakan bahwa perkebunan di sekitarnya, juga memiliki hubungan yang
penting dengan sang gedung.
Setelah
puas menikmati udara sejuk dari balkon lantai dua kami melanjutkan perjalanan
menuju bagian dalam lantai dua, dan mencoba membayangkan kondisi awalnya gedong
ketika masih berfungsi baik dan ditempati para meneer dan noni melalui
selasar dan inter connector antar
ruang.
Salah satu ruang
kamar yang disinyalir adalah kamar untuk menyimpan perhiasan dengan ukuran 4x3
meter, dengan satu jendela untuk sirkulasi udara.
Setelah
selesai memasuki ruang pertama, rasa penasaran saya semakin besar dan pak RT
yang juga ikut penasaran akhirnya kami memberanikan diri lihat ruang lainya.
Pada waktu itu kami layaknya pemilik rumah yang sedang menikmati rumah pribadi,
bahkan warga lain yang sebenarnya penasaran hanya berani melihat dari luar
rumah. Bau
apek dan puing-puing yang berserakan membuat saya berfikir dua kali untuk
berlama-lama di dalam kamar, yang ditakutkan adalah kayu reng dan usuknya sudah tidak kuat
dan bisa patah sewaktu-waktu. Saya jadi tahu mengapa tidak ada warga yang
menggunakan gedung utama sebagai rumah mereka selama ini, yakni takut tertimpa kayu ataupun takut seandainya lantainya ambrol, jadi sebenarnya ketakutan mereka cukup masuk akal.
Dua jendela dalam
satu ruang kamar, mungkin itulah gambaran yang cocok ketika melihat kondisi
tersebut. Dan pada dasarnya itu adalah satu kamar.
Berjarak
satu pintu dari kamar pertama, kami menemukan ruangan dengan ukuran lebih besar
dari ruangan tadi. Sekilas ruangan tersebut lebih cocok untuk kamar tidur
utama, selain itu ada lagi ruang tidur besar lainnya. Jadi terdapat dua ruang
kamar utama di lantai dua dan satu kamar berukuran lebih kecil. Diantara kamar
tersebut terdapat ruang dengan aksen pintu menuju ke balkon lantai dua.
Ciri
rumah jaman kolonial terdapat pintu tambahan yang digunakan untuk berpindah
dari satu ruang ke ruang lain, juga ditemukan di gedong ini. Yang menambah rasa
takjub kami adalah di salah satu pintu di lantai dua terdapat balkon kecil
berbentuk setengah lingkaran yang menghadap ke dalam, setelah ditelaah lebih
lanjut, ini adalah tempat khusus untuk pemilik rumah ketika mengadakan pesta.
Ruang dengan daun
pintu ini bukanlah kamar, akan tetapi itulah akses menuju ke balkon utara. Dan
ini adalah ruang jamuan sebelum menyaksikan pemandangan.
Kondisi balkon
utara terlihat adanya ruangan sebelum menuju ke balkon.
Kondisi salah satu
kamar lainya dengan kondisi sama.
Kondisi selasar
menuju ruang kamar dan akses menuju ke balkon saat ini.
Selasar
utama di lantai dua kondisinya sangat memprihatinkan karena cukup lama
dibiarkan kosong dan dihuni oleh kelelawar. Keberadaan kelelawar ini semakin mempercepat proses
kerusakan yang ditimbulkan oleh kotoran mereka. Bagian kanan terlihat model pilar dengan
pembatas berupa tembok bata setinggi 70 cm tersebut adalah pembatas antara
lantai dua dan lantai satu dan fungsi lainnya adalah untuk menyaksikan aktivitas
yang terjadi di bawah dari depan kamar. Setelah puas menyaksikan kemegahan
rumah ini dari lantai dua, demi keamanan bersama kami memutuskan segera turun.
Kondisi lantai 1
rumah. Jangan berfikiran itu lantai tegel,itu sejatinya adalah kotoran kelelawar
yang memenuhi lantai.
Peringatan
mulai muncul dari si Bapak: “alon-alon
wae ya mas, aku wedine nek ambrol opo pothol, karo mlakune kaya mau ya, idaken
kayu sing tak idak ojo midak liane”. Kalau di bahasa Indonesia maksudnya
adalah “hati-hati saja ya mas, saya takutnya kalau
patah, dan jalannya seperti tadi ya, injaklah kayu yang saya injak jangan menginjak
kayu lain”. Kenapa? Mungkin itu yang akan muncul pertanyaan, dan alasannya
adalah ketika kami mencoba naik ke lantai dua, pijakan yang bisa digunakan
hanyalah selebar satu bilah papan kecil
dan kalau salah injak dijamin akan terkena kotoran kelelawar.
Bagian
lantai ternyata 1 juga tidak kalah berbahaya. Beberapa titik sudah tidak memungkinkan
untuk dilewati dan kondisi fisiknya yang semakin rapuh membuat nampak semakin
memprihantinkan. Jangan pernah berpikir di lantai 1 ini kami bisa lebih leluasa
bergerak. Karena ubin di lantai 1 sudah dipenuhi kotoran kelelawar,
ditambah dengan kelembaban tinggi menjadikan suasana semakin pengap. Layaknya
kayu kering yang sudah tidak berdaun tinggal menunggu roboh, itu yang dapat
digunakan untuk menggambarkan kondisinya saat ini.
Bekas akses pintu
menuju halaman utara gedung. Seharusnya terdapat kaca patri sebagai jalan masuk
cahaya kedalam rumah,tetapi saat ini sudah hilang.
Kemegahan
yang masih bertahan entah hingga kapan waktu menentukan, apakah akan hilang dan
menjadi puing? Hanya waktu yang bisa menjawab.
Tangga akses menuju
lantai dua yang hingga kini masih bertahan meskipun mengalami kerusakan
dibeberapa sudut dan sudah tidak layak pakai.
Salah satu sudut
pintu keluar rumah, tampak terang karena setengah atapnya sudah runtuh.
Setelah
puas mengelilingi bagian dalam rumah, pak RT mulai meninggalkan saya dan
mempersilahkan untuk melanjutkan berkeliling seorang diri. Meskipun
pada bagian dalam menunjukkan kerusakan di sana sini, akan tetapi kondisi di bagian luar sedikit berbeda.
Beberapa bagian masih terlihat utuh bahkan hingga ke bagian detil ornamen yang
sangat menunjukan kewibawaan pemilik Gedong ini.
Oiya, saya hampir lupa menjelaskan bahwa tuan dan nyonya Belanda dalam beraktifitas sehari-hari terutama di lingkungan tempat tinggal, pasti tidak bisa dilepaskan dari keberadaan jongos yang diambil dari masyarakat biasa. Pembagian kerja disesuaikan dengan pendidikan dan stratifikasi sosial, dimana perempuan bekerja pada sektor domestik seperti memasak, menyiapkan sarapan, dan memenuhi segala kebutuhan tuan dan nyonyanya. Sedangkan laki-laki lebih banyak bekerja sebagai tukang kebun, namun tak jarang juga membantu menghidangkan makanan.
Oiya, saya hampir lupa menjelaskan bahwa tuan dan nyonya Belanda dalam beraktifitas sehari-hari terutama di lingkungan tempat tinggal, pasti tidak bisa dilepaskan dari keberadaan jongos yang diambil dari masyarakat biasa. Pembagian kerja disesuaikan dengan pendidikan dan stratifikasi sosial, dimana perempuan bekerja pada sektor domestik seperti memasak, menyiapkan sarapan, dan memenuhi segala kebutuhan tuan dan nyonyanya. Sedangkan laki-laki lebih banyak bekerja sebagai tukang kebun, namun tak jarang juga membantu menghidangkan makanan.
Fasade depan Gedong
Kuning Ungaran saat sebelum bagian puncaknya roboh.
Fasade depan
Gedong Kuning Ungaran sesaat setelah bagian puncaknya roboh tahun 2016.
Meskipun
kondisi Gedong Kuning kian lama semakin mengkhawatirkan, akan tetapi hingga
saat ini bukti kewibawaan dan kemewahan masa lalu masih dapat disaksikan hingga
saat ini. Banyak yang tidak menyadari akan bukti-bukti lain selain fisik
bangunan sendiri. Arsitek kenamaan Belanda ataupun Tionghoa dalam mendirikan
bangunan pasti memberikan sentuhan detail artistik pada bangunan yang dirancangnya, hal inilah yang menambah kesan mewah dari sang pemilik rumah dan
arsitek.
Sudut tembok yang
dihias dengan wajah Singa.
Relief berbentuk wajah singa,
merupakan sebuah perlambangan salah satu negara. Jelaslah bahwa relief wajah singa
tersebut merupakan lambang negara Belanda di bawah Ratu Wilhelmina sehingga
bisa diidentifikasi bahwa orang yang tinggal dan atau dimakamkan dengan
lambang-lambang tertentu seperti singa ini berarti dia memiliki kontribusi yang
besar kepada Pemerintah Belanda, baik berkebangsaan Belanda atau yang lain,
bahkan Timur Asing.
Salah satu model
jendela dengan hiasan floral menjuntai kebawah menambah kesan mewah.
Selain
relief wajah singa di sudut bangunan, juga terdapat hiasan lain yang menempel
pada fisik gedong kuning. Hiasan tersebut terdapat pada daun jendela di segala
penjuru rumah. Sepintas memang tampak biasa akan tetapi setelah diamati lebih
teliti terdapat ornamen flora yang menjuntai kebawah. Akan tetapi entah
kebetulan atau tidak hiasan tersebut juga menyerupai bagian “pribadi”
perempuan. Beberapa jendela dan pintu memiliki hiasan yang serupa hanya saja
berbeda ukuran dan detailnya.
“1916_Ende Desespereert_Nimmer_1918”.
Plakat
bertuliskan sebuah kalimat “1916_Ende_Desespereert_Nimmer_1918”
inilah yang sebenarnya paling mencolok dari gedung ini sendiri, lokasinya cukup
tersembunyi di sebelah selatan gedung menjadikan kerahasianya semakin terjaga. Adapun arti dari plakat tersebut berbunyi "akhir dari sesuatu yang tidak pernah berakhir".
Perjalanan
sejarah Gedong Kuning ini tidak serta merta halus layaknya rumah tinggal masa
kini. Saat Jepang berkuasa di tanah ini pastinya juga membawa dampak
tersendiri. Krisis yang terjadi diikuti dengan pengalihfungsian layaknya gedung
milik Belanda, juga mereka yang tadinya tinggal dipindahkan ke kamp konsentrasi
ataupun dipaksa kembali ke Negeri Belanda. Dua opsi itulah yang diberikan
Jepang terhadap Belanda demi menguasai apa yang sudah ada dan tersedia.
Kondisi awal tahun
2017 bagian atap rubuh seperti yang ada di dalam foto dan kegiatan disekitar
rumah semakin dijaga.
Rasa
kagum dan miris melebur menjadi satu ketika melihat bangunan ini dari sudut
lapangan Mengapa demikian? Miris sekali melihat kondisi fisiknya bangunan yang masih
bertahan dengan tingkat kerusakan yang ada. Andaikan gedung ini di revitalisasi
pastinya akan tampak kembali kemegahan gedung ini, dan pastinya akan memberikan
nilai lebih terhadap Ungaran dan pemilik gedung. Hipotesis saya ini gedung
bukan sembarang gedung akan tetapi gedung multifungsi pada jamannya, seperti
halnya societeiet atau bahkan rumah
singgah para pemilik perusahaan. Dengan konstruksi seperti yang dijelaskan
beberapa fungsi tersebut dapat digunakan sebagai kajian selanjutnya.
Yah..
selesailah perjalanan kita diseputaran Gedong Kuning Ungaran yang kondisinya
bagaikan “hidup segan mati enggan”,
dan semoga saja ada perhatian khusus untuk si kuning yang memudar ini
secepatnya.
Referensi
Anonim.
Lijst van Ondernemingen in Nedherlandsch
Indie 1914. Batavia: Landsrukkerij.
Tim Penyusun, 2012. Forts In Indonesia. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Maclaine
Campbeel, Donald, 1915. Java Past and Present,
London: William Heinemann.
Terima kasih mas atas infonya. sungguh sayang pemerintah tidak hadir dalam menjaga sekian banyak cagar budaya yang tersebar di indonesia
BalasHapusdi ujung lapangan bola kalo gak salah ada phon jambu mete, dan didalam bangunan Gedong Kuning banyak di huni kelelawar sejak tahun 1980an
BalasHapusketika saya SMP dulu, sering main Bola di lapangan Dongkuning (sebutan untuk (Gedong Kuning) pada atas bangunan ada balkon pengawas yg berbentuk seperti Mahkota.
BalasHapusNdak ada alamat aslinya gus, di google map kayaknya ngasal alamat jalannya.
BalasHapus