Senin, 04 September 2017

Sang Mahakarya dari Oengaran: Gedong Koening,

Saksi Bisu yang Membisu.




Pembuka
Ungaran kota kecil yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Semarang ini menyimpan beberapa harta karun terpendam yang masih jarang mendapat perhatian dari masyarakat dan para pelancong dari luar kota. Beberapa diantara harta karun yang tersembunyi di Kota Ungaran adalah Benteng Willem II yang sekarang menjadi asrama polisi Ungaran, sekolahan, kantor, tempat hiburan atau soos (societeiet) hingga rumah-rumah pribadi. Tulisan kali ini saya akan coba membahas keberadaan rumah berjuluk Gedong Koening  yang cukup tersohor saat ini.

Ungaran Tempo Doeloe
Periode Hindu merupakan awal mula Ungaran disebut-sebut sebagai cikal bakal sebuah Kota. Masa itu terdapat tiga jalur utama menuju kerajaan besar yang berlokasi di Jawa Timur saat ini. Jalur tersebut diantaranya melalui Jepara yang merupakan kota pelabuhan, dan jalur lainnya melalui Srondol, Ungaran, Salatiga dan Boyolali. Jalur utama adalah melalui Tegal dan Banyumas, tetapi dengan kondisi jalan yang cukup terjal, membutuhkan waktu 12 hari untuk mencapai Ibukota Kerajaan. Jalur ketiga dan terakhir adalah Blambangan yang saat ini menjadi bagian dari Banyuwangi dan diakhiri di Pasoeroean dan Kediri. 

Kota Ungaran berada tepat diantara dua Kota yakni Semarang dan Salatiga, Tepatnya berada di antara Srondol, Semarang dan Salatiga. Ketiga kota ini memiliki ikatan sejarah yang cukup kental dan berkesinambungan, yakni kedatangan militer Belanda dan pertemuan antara pihak Belanda dengan Sinuhun Pakubuwana II selaku raja Keraton Kartasura.

Awal mula Belanda memulai kolonisasi di pedalaman Jawa. Desa-desa yang letaknya strategis dan berada di sepanjang jalur Semarang-Surakarta dijadikan sebagai basis militer  juga  tempat peristirahatan. Pengamanan jalur transportasi yang awalnya masih berupa jalan berpasir tanpa adanya pengamanan dari pihak Belanda, mengakibatkan Belanda mulai menempatkan pasukannya di beberapa desa guna mengamankan jalur. Ketika Gubernur Jenderal Gustave Willem Baron van Imhoff melakukan perjalan ke Jawa tahun 1746, beliau memulai perjalanan dari Semarang untuk mengunjungi Kerajaan Mataram melalui Ungaran untuk bertemu dengan Susuhunan Pakubuwana II (Campbeel. 1915: 486).

Keistimewaan Ungaran adalah  bertipe kota militer, ditandai dengan didirikanya benteng pada tahun 1746 bernama “De Outmoeting”, yang digunakan sebagai tempat rapat antara Gubernur Jenderal Barron van Imhof dengan Sunan Pakubuwana II. Kerjasama antara kedua pihak ini tidak bisa dilepaskan dari peristiwa geger pecinan tahun 1742. Peristiwa tersebut merupakan salah satu dampak yang dari meningkatnya kedatangan orang Tionghoa ke Batavia, mengakibatkan orang Tionghoa yang berhasil masuk Semarang dan sekitarnya memberontak ke pihak Belanda yang waktu itu diwakili oleh VOC (Tim Penyusun. 2012: 116).

Referensi pendukung berupa majalah dan koran terbitan jaman Belanda, juga mengungkapkan bahwa Ungaran dahulu bernama Oenarang yang merupakan jalur utama menuju Kerajaan Mataram. Dijelaskan juga terdapat benteng yang digunakan sebagai pusat pertemuan antara Eropa, Jawa dan Tionghoa. Sehingga  ketika peristiwa geger pecinan atau penyeranggapan Sunan Kuning dibantu kompeni terhadap Kraton Kartasura terjadi Ungaran memiliki andil yang cukup besar.

Kehidupan di Ungaran masa itu mayoritas dihuni oleh bangsa Eropa yang bekerja di sektor pemerintahan dan swasta, antara lain sebagai detasemen kepolisian, militer, pemilik perkebunan dan perusahaan. Hal ini semakin kental semenjak munculnya Undang-Undang Agraria yang menyebutkan pemilik modal dan usaha diberikan hak untuk menguasai perusahaan masing-masing. Dengan dibukanya kesempatan investor swasta untuk menamkan modal munculah perkebunan milik Eropa dan Cina disekitarnya, sehingga munculah beberapa nama firma Eropa dan Cina penguasa perkebunan.

Keberadaan Ungaran yang terletak persis di jalan raya pos atau jalan daendels dengan iklim yang cocok untuk perkebunan, mengakibatkan Ungaran memiliki hamparan perkebunan penghasil nilai export tinggi di dunia saat itu. Ungaran yang sarat akan sumber daya alam dan bernilai tinggi adalah salah satu alasan pendirian perkebunan penghasil komoditi berupa kopi, teh dan pala. 

Jejak Keberadaan Gedong Koening

Peta kompleks Gedong Koening Ungaran, terlihat terdapat areal perkebunan Kalidodol dengan simbol Og. Kalidodol dari peta tahun 1924. Sumber: maps.library.leiden.edu.

Keberadaan gedung ini tidak bisa dilepaskan dari adanya beberapa perkebunan di sekitar Ungaran diantaranya adalah kopi, kina, cokelat, dan kapuk yang masing-masing dimiliki perusahaan asing misalnya adalah Go Boen Kwan. Berdasarkan buku Lijst van Ondernemingen in Nedherlandsch Indie 1914, Batavia Landsrukkerij administrateur perusahan di bidang perkebunan tersebut diantaranya yakni  Ch F Houtman 5 September 1911 dan H Bosch 14 Juli 1911 (Anonim. 1914: 197).

Bercerita tentang Gedong Kuning yang berdiri sekitar tahun 1916-berdasarkan inkrispi yang ada-tidak bisa dilepaskan dari beberapa faktor diantaranya, lokasi yang strategis untuk mengembangkan bisnis berupa perkebunan dan suasana yang sejuk karena berada di kaki gunung Ungaran. Bangunan yang berdiri megah ditengah ramainya jalan raya Semarang-Solo ini, bisa dikatakan tidak menyerah menghadapi kerasnya jaman.

Warna kuning pudar yang mencolok seakan menarik perhatian bagi penikmat bangunan kuno. Akan tetapi untuk dapat memasuki wilayahnya harus ekstra hati-hati karena akses masuk mendekat cukup sulit, namun ketika dilihat dari dekat kesan yang ditangkap adalah "luar biasa". Sehingga hipotesis saya Gedong Kuning ini awalnya merupakan rumah peristirahatan bagi administrateur perkebunan sekaligus societeiet bagi tuan dan nyonya kulit putih, akan tetapi hipotesis ini masih perlu kajian lebih lanjut.

Jelajah Gedong Koening Oenarang
Kunjungan pertama saya ke Gedong Kuning Ungaran ini pada tahun 2014 dalam perjalanan menuju Semarang bersama seorang teman dari Boyolali. Butuh waktu kurang lebih 1 jam perjalanan untuk menuju lokasi, dan satu jam berikutnya kami habiskan untuk berkeliling dan berbincang dengan penduduk setempat. 

Kondisi fisik Gedong Koening Oenarang dengan sisa kejayaan di masanya. Terlihat warna tembok yang masih asli dari dulunya hingga saat ini, dan penggunaan dormer atau jendela diatas genting dengan tujuan mensirkulasi udara di atas plafond supaya tidak panas bagi penghuninya.

Saat kunjungan pertama tersebut,  kami disambut oleh beberapa keluarga purnawirawan TNI yang dengan senang hati menceritakan tentang masa lalu dan kondisi terkini bangunan berjuluk Gedong Kuning ini. Meskipun kondisi atap utama yang berupa balkon-balkon kecil di puncak terlihat mulai roboh, namun secara fisik bangunan bisa dikatakan masih cukup kokoh. Kerusakan atap tersebut lebih banyak disebabkan oleh faktor cuaca dan tentu saja usia. Saat itu, warga yang kami temui tidak banyak bercerita tentang kepemilikan bangunan tersebut dengan alasan keamanan.

Warga menyakini bahwa gedong ini dahulunya digunakan sebagai rumah tinggal keluarga Belanda, dan digunakan juga sebagai societeiet  warga kulit putih yang berkoloni di Ungaran. Lantas apakah bangunan ini memang layak  digunakan sebagai kamar bola? Jawaban itu akan ditemukan dalam perjalanan menyusuri “organ dalam” Gedong Kuning ini.

Dengan bantuan dan ijin dari  RT setempat serta pengawalan dari  keluarga purnawirawan militer, saya memberanikan diri masuk ke dalam ruangan dan betul saja apa yang diceritakan ke saya. Cerita tersebut masuk akal karena bagian dalam cukup lebar dan bisa untuk melakukan pesta, sedangkan lantai dua digunakan sebagai kamar tidur dan balkon untuk merokok, minum liquor dan menikmati udara sejuk. Pemandangan yang langsung menghadap gunung Ungaran dan perkebunan menambah kesan mewah pada masa itu.

Kondisi dari balkon lantai dua sisi selatan, menghadap ke timur dan terlihat jarak antara rumah dan jalan raya utama di batasi oleh lapangan sepak bola.

Kondisi tersebut membuka kemungkinan fungsi lain dari balkon adalah untuk menikmati pertandingan sepak bola atau latihan militer. Sama dengan kondisi Pura Mangkunegaran Solo yang dilengkapi dengan pamedan untuk latihan perang pasukan Kavalerie Artileri. Sayang kondisi balkon di sisi utara dan timur cukup sulit diakses, akan tetapi fungsi balkon di utara sama halnya dengan balkon sisi selatan.

Menariknya lagi pemandangan dari dua balkon yakni utara dan selatan, dapat mengawasi gerak-gerik pekerja di perkebunan belakang rumah. Perkebunan yang dimaksud di sini adalah perkebunan kopi, kapuk dan tanaman bernilai jual tinggi untuk melunasi utang-utang pemerintah. Dapat dikatakan bahwa perkebunan di sekitarnya, juga memiliki hubungan yang penting dengan sang gedung.

Setelah puas menikmati udara sejuk dari balkon lantai dua kami melanjutkan perjalanan menuju bagian dalam lantai dua, dan mencoba membayangkan kondisi awalnya gedong ketika masih berfungsi baik dan ditempati para meneer dan noni melalui selasar dan inter connector antar ruang.


Salah satu ruang kamar yang disinyalir adalah kamar untuk menyimpan perhiasan dengan ukuran 4x3 meter, dengan satu jendela untuk sirkulasi udara.

Setelah selesai memasuki ruang pertama, rasa penasaran saya semakin besar dan pak RT yang juga ikut penasaran akhirnya kami memberanikan diri lihat ruang lainya. Pada waktu itu kami layaknya pemilik rumah yang sedang menikmati rumah pribadi, bahkan warga lain yang sebenarnya penasaran hanya berani melihat dari luar rumah. Bau apek dan puing-puing yang berserakan membuat saya berfikir dua kali untuk berlama-lama di dalam kamar, yang ditakutkan  adalah kayu reng dan usuknya sudah tidak kuat dan bisa patah sewaktu-waktu. Saya jadi tahu mengapa tidak ada warga yang menggunakan gedung utama sebagai rumah mereka selama ini, yakni takut tertimpa kayu ataupun takut seandainya lantainya ambrol, jadi sebenarnya ketakutan mereka cukup masuk akal. 

Dua jendela dalam satu ruang kamar, mungkin itulah gambaran yang cocok ketika melihat kondisi tersebut. Dan pada dasarnya itu adalah satu kamar.

Berjarak satu pintu dari kamar pertama, kami menemukan ruangan dengan ukuran lebih besar dari ruangan tadi. Sekilas ruangan tersebut lebih cocok untuk kamar tidur utama, selain itu ada lagi ruang tidur besar lainnya. Jadi terdapat dua ruang kamar utama di lantai dua dan satu kamar berukuran lebih kecil. Diantara kamar tersebut terdapat ruang dengan aksen pintu menuju ke balkon lantai dua.

Ciri rumah jaman kolonial terdapat pintu tambahan yang digunakan untuk berpindah dari satu ruang ke ruang lain, juga ditemukan di gedong ini. Yang menambah rasa takjub kami adalah di salah satu pintu di lantai dua terdapat balkon kecil berbentuk setengah lingkaran yang menghadap ke dalam, setelah ditelaah lebih lanjut, ini adalah tempat khusus untuk pemilik rumah ketika mengadakan pesta.

Ruang dengan daun pintu ini bukanlah kamar, akan tetapi itulah akses menuju ke balkon utara. Dan ini adalah ruang jamuan sebelum menyaksikan pemandangan.

Kondisi balkon utara terlihat adanya ruangan sebelum menuju ke balkon.


Kondisi salah satu kamar lainya dengan kondisi sama.


Kondisi selasar menuju ruang kamar dan akses menuju ke balkon saat ini.

Selasar utama di lantai dua kondisinya sangat memprihatinkan karena cukup lama dibiarkan kosong dan dihuni oleh kelelawar. Keberadaan kelelawar ini semakin mempercepat proses kerusakan yang ditimbulkan oleh kotoran mereka. Bagian kanan terlihat model pilar dengan pembatas berupa tembok bata setinggi 70 cm tersebut adalah pembatas antara lantai dua dan lantai satu dan fungsi lainnya adalah untuk menyaksikan aktivitas yang terjadi di bawah dari depan kamar. Setelah puas menyaksikan kemegahan rumah ini dari lantai dua, demi keamanan bersama kami memutuskan segera turun.


Kondisi lantai 1 rumah. Jangan berfikiran itu lantai tegel,itu sejatinya adalah kotoran kelelawar yang memenuhi lantai. 

Peringatan mulai muncul dari si Bapak: “alon-alon wae ya mas, aku wedine nek ambrol opo pothol, karo mlakune kaya mau ya, idaken kayu sing tak idak ojo midak liane”. Kalau di bahasa Indonesia maksudnya adalah  “hati-hati saja ya mas, saya takutnya kalau patah, dan jalannya seperti tadi ya, injaklah kayu yang saya injak jangan menginjak kayu lain”. Kenapa? Mungkin itu yang akan muncul pertanyaan, dan alasannya adalah ketika kami mencoba naik ke lantai dua, pijakan yang bisa digunakan hanyalah selebar  satu bilah papan kecil dan kalau salah injak dijamin akan terkena kotoran kelelawar.

Bagian lantai ternyata 1 juga tidak kalah berbahaya. Beberapa titik sudah tidak memungkinkan untuk dilewati dan kondisi fisiknya yang semakin rapuh membuat nampak semakin memprihantinkan. Jangan pernah berpikir di lantai 1 ini kami bisa lebih leluasa bergerak.  Karena ubin  di lantai 1 sudah dipenuhi kotoran kelelawar, ditambah dengan kelembaban tinggi menjadikan suasana semakin pengap. Layaknya kayu kering yang sudah tidak berdaun tinggal menunggu roboh, itu yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisinya saat ini.


Bekas akses pintu menuju halaman utara gedung. Seharusnya terdapat kaca patri sebagai jalan masuk cahaya kedalam rumah,tetapi saat ini sudah hilang.

Kemegahan yang masih bertahan entah hingga kapan waktu menentukan, apakah akan hilang dan menjadi puing? Hanya waktu yang bisa menjawab.


Tangga akses menuju lantai dua yang hingga kini masih bertahan meskipun mengalami kerusakan dibeberapa sudut dan sudah tidak layak pakai.


Salah satu sudut pintu keluar rumah, tampak terang karena setengah atapnya sudah runtuh.

Setelah puas mengelilingi bagian dalam rumah, pak RT mulai meninggalkan saya dan mempersilahkan untuk melanjutkan berkeliling seorang diri. Meskipun pada bagian dalam menunjukkan kerusakan di sana sini, akan tetapi  kondisi di bagian luar sedikit berbeda. Beberapa bagian masih terlihat utuh bahkan hingga ke bagian detil ornamen yang sangat menunjukan kewibawaan pemilik Gedong ini. 

Oiya, saya hampir  lupa menjelaskan  bahwa tuan dan nyonya Belanda dalam beraktifitas sehari-hari terutama di lingkungan tempat tinggal, pasti tidak bisa dilepaskan dari keberadaan jongos yang diambil dari masyarakat biasa. Pembagian kerja disesuaikan dengan pendidikan dan stratifikasi sosial, dimana perempuan bekerja pada sektor domestik seperti memasak, menyiapkan sarapan, dan memenuhi segala kebutuhan tuan dan nyonyanya. Sedangkan laki-laki lebih banyak bekerja sebagai tukang kebun, namun tak jarang juga membantu menghidangkan makanan.


Fasade depan Gedong Kuning Ungaran saat sebelum bagian puncaknya roboh.


Fasade depan Gedong Kuning Ungaran sesaat setelah bagian puncaknya roboh tahun 2016.

Meskipun kondisi Gedong Kuning kian lama semakin mengkhawatirkan, akan tetapi hingga saat ini bukti kewibawaan dan kemewahan masa lalu masih dapat disaksikan hingga saat ini. Banyak yang tidak menyadari akan bukti-bukti lain selain fisik bangunan sendiri. Arsitek kenamaan Belanda ataupun Tionghoa dalam mendirikan bangunan pasti memberikan sentuhan detail artistik pada bangunan yang dirancangnya, hal inilah yang menambah kesan mewah dari sang pemilik rumah dan arsitek.


Sudut tembok yang dihias dengan wajah Singa.

Relief berbentuk wajah singa, merupakan sebuah perlambangan salah satu negara. Jelaslah bahwa relief wajah singa tersebut merupakan lambang negara Belanda di bawah Ratu Wilhelmina sehingga bisa diidentifikasi bahwa orang yang tinggal dan atau dimakamkan dengan lambang-lambang tertentu seperti singa ini berarti dia memiliki kontribusi yang besar kepada Pemerintah Belanda, baik berkebangsaan Belanda atau yang lain, bahkan Timur Asing. 


Salah satu model jendela dengan hiasan floral menjuntai kebawah menambah kesan mewah.

Selain relief wajah singa di sudut bangunan, juga terdapat hiasan lain yang menempel pada fisik gedong kuning. Hiasan tersebut terdapat pada daun jendela di segala penjuru rumah. Sepintas memang tampak biasa akan tetapi setelah diamati lebih teliti terdapat ornamen flora yang menjuntai kebawah. Akan tetapi entah kebetulan atau tidak hiasan tersebut juga menyerupai bagian “pribadi” perempuan. Beberapa jendela dan pintu memiliki hiasan yang serupa hanya saja berbeda ukuran dan detailnya.


“1916_Ende Desespereert_Nimmer_1918”.

Plakat bertuliskan sebuah kalimat “1916_Ende_Desespereert_Nimmer_1918” inilah yang sebenarnya paling mencolok dari gedung ini sendiri, lokasinya cukup tersembunyi di sebelah selatan gedung menjadikan kerahasianya semakin terjaga. Adapun arti dari plakat tersebut berbunyi "akhir dari sesuatu yang tidak pernah berakhir".

Perjalanan sejarah Gedong Kuning ini tidak serta merta halus layaknya rumah tinggal masa kini. Saat Jepang berkuasa di tanah ini pastinya juga membawa dampak tersendiri. Krisis yang terjadi diikuti dengan pengalihfungsian layaknya gedung milik Belanda, juga mereka yang tadinya tinggal dipindahkan ke kamp konsentrasi ataupun dipaksa kembali ke Negeri Belanda. Dua opsi itulah yang diberikan Jepang terhadap Belanda demi menguasai apa yang sudah ada dan tersedia.


Kondisi awal tahun 2017 bagian atap rubuh seperti yang ada di dalam foto dan kegiatan disekitar rumah semakin dijaga.

Rasa kagum dan miris melebur menjadi satu ketika melihat bangunan ini dari sudut lapangan Mengapa demikian? Miris sekali melihat kondisi fisiknya bangunan yang masih bertahan dengan tingkat kerusakan yang ada. Andaikan gedung ini di revitalisasi pastinya akan tampak kembali kemegahan gedung ini, dan pastinya akan memberikan nilai lebih terhadap Ungaran dan pemilik gedung. Hipotesis saya ini gedung bukan sembarang gedung akan tetapi gedung multifungsi pada jamannya, seperti halnya societeiet atau bahkan rumah singgah para pemilik perusahaan. Dengan konstruksi seperti yang dijelaskan beberapa fungsi tersebut dapat digunakan sebagai kajian selanjutnya.

Yah.. selesailah perjalanan kita diseputaran Gedong Kuning Ungaran yang kondisinya bagaikan “hidup segan mati enggan”, dan semoga saja ada perhatian khusus untuk si kuning yang memudar ini secepatnya.


Referensi
Anonim. Lijst van Ondernemingen in Nedherlandsch Indie 1914. Batavia: Landsrukkerij.

Tim Penyusun, 2012. Forts In Indonesia. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Maclaine Campbeel, Donald, 1915. Java Past and Present, London: William Heinemann.

4 komentar:

  1. Terima kasih mas atas infonya. sungguh sayang pemerintah tidak hadir dalam menjaga sekian banyak cagar budaya yang tersebar di indonesia

    BalasHapus
  2. di ujung lapangan bola kalo gak salah ada phon jambu mete, dan didalam bangunan Gedong Kuning banyak di huni kelelawar sejak tahun 1980an

    BalasHapus
  3. ketika saya SMP dulu, sering main Bola di lapangan Dongkuning (sebutan untuk (Gedong Kuning) pada atas bangunan ada balkon pengawas yg berbentuk seperti Mahkota.

    BalasHapus
  4. Ndak ada alamat aslinya gus, di google map kayaknya ngasal alamat jalannya.

    BalasHapus

Trace op De Grote Postweg Soerabaja. Jembatan Merah sebagai Jantung Utama Kota Tua Surabaya. Yang Tersisa dari Mahakarya Kolonalisme k...