Napak Tilas Kejayaan Gunung Merapi, Mata Air Sumber Kehidupan Bagi Masyarakat Lereng Gunung Merapi.
Pendahuluan
Penjajah kolonial dalam mendirikan sebuah koloni mereka diamanpun berada sangat total dalam melakukannya. Hal ini dapat ditelaah dari berbagai sumber yang sejaman, baik wawancara maupun sumber tertulis dan sumber dokumentasi yang berasal dari waktu kejadian tersebut berlangsung. Gunung Merapi menyimpan banyak sejarah yang terus bersembunyi dibalik kemegahannya. Mulai dari jaman kerajaan hingga kolonialisme di Jawa khususnya Boyolali tahun 1915.
PLTA, air, water toren hingga pabrik kopi merupakan beberapa hasil pembangunan Belanda di Boyolali. Lokasi pendirian beberapa instalasi listrik dan pabrik tersebut berada di kaki gunung merapi dan sangat dekat dengan sumber mata air dan kondisi tanah yang subur merupakan awal mula didirikanya instalasi-instalasi tersebut.
PLTA, Water Toren, dan Eks Pabrik Kopi
Kota Boyolali sudah dapat dikatakan maju dalam bidang irigasi dan pertanianya sejak kolonial menduduki sebagai pos tundan. Bahkan, Boyolali sendiri sudah memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Air atau PLTA sendiri. Hal ini dikarenakan kondisi geografis Boyolali yang berada di kaki gunung merapi dan merbabu sekaligus dekat dengan sumber mata air, membuat walanda (Belanda) mulai memperhitungkan daerah-daerah yang dekat dengan sumber air untuk didirikan pabrik dan sarana prasaran yang mendukung.
(Water Toren, Dukuh Wonopedut Desa Sanggabumi, Cepogo Boyolali)
(Water Toren dilihat dari sudut jalan raya menuju Wana Pedut)
Lokasi yang dianggap strategis untuk mendirikan PLTA dan pabrik kopi di Boyolali yakni kompleks pasar Cepogo, Kec. Cepogo Kab. Boyolali. Lahan yang dekat dengan gunung nan subur menjadi pilihan untuk menanam kopi, dan sumber air yang terus mengalir membuat sekitar areal teresebut cocok digunakan sebagai PLTA lengkap dengan turbin dan pipa besi berisi air yang dialirkan untuk proses pengelupasan (ngonceki) kulit kopi hingga pencucian biji kopi. Dalam proses ngonceki kulit kopi tersebut masih dilakukan dengan cara tradisional yang menggesekan kopi yang belum dionceki dengan jrambahan (lantai rumah tradisional) yang masih kasar, sehingga kulit dan biji kopi tersebut terpisah. Proses ini berlangsung sepanjang 1 km (kurang lebih).
(Pipa Air dari Water Toren menuju ke Eks Pabrik Kopi dan PLTA)
Pipa besi yang berukuran besar yang dialirkan dari water toren yang berada di Desa Ringin selain bergunan untuk proses pekerjaan dalam pabrik juga berfungsi sebagai penggeran turbin PLTA. Pipa tersebut tebal 1,5 cm dengan panjang dari hulu hingga ke hilir sepanjang 2 km.
(Pintu masuk eks Pabrik Kopi, sekarang menjadi pintu masuk Pasar Cepogo)
(Pasar Cepogo yang dahulu merupakan pusat Pabrik Kopi di Boyolali)
(Sisi utara eks pabrik kopi.Dahulu merupakan jalur keluar biji kopi dari dalam pabrik)
Transportasi dan pengiriman biji kopi
Dalam bidang transportasi, kompeni selalu menggunakan loko uap kecil (monthit) untuk membawa kopi dari kebun ke pabrik. Akses dari Boyolali menuju ke pabrik kopi dan turbin PLTA tersebut adalah melewati desa Tampir Kec. Musuk Boyolali. Sistem transportasi yang masih minim merupakan alasan yang cukup masuk akal, ditambah lagi dengan kondisi medan yang naik turun dan banyak belokan lantaran di gunung. Dalam penagaksesanya rel-rel tersebut dibuat malang melintang mengikuti kontur tanah.
(Eks Stasiun di Tampir. Kec. Musuk Boyolali. Salah satu stasiun besar yang berada di barat Boyolali)
Tampir, merupakan salah satu kecamatan di Boyolali yang berada di barat Kota Lama Boyolali sekitar 30 menit perjalanan. Di kecamatan ini terdapat beberapa peninggalan cagar budaya buatan kompeni, diantaranya stasiun tampir, rumah bergaya kolonial di sudut jalan dan bangunan bekas rumah oven tembakau. Selain itu, menurut cerita sesepuh di daerah ini dahulu merupakan bekas pabrik jaman Belanda hingga tahun 1950 gedung-gedung tersebut dirobohkan oleh gerilyawan, karena dibangun oleh kompeni.
(Rumah yang masih berhubungan dengan bekas pabrik di Tampir)
Simpulan
Kota Boyolali tidak hanya menyimpan puing-puing candi dan artefack saja, melainkan menyimpan berbagai cagar budaya yang belum diangkat menuju permukaan. Sama seperti halnya dengan Kota Lama Boyolali yang muncul sebagai ikon baru mendampingi patung kuda arjuna wiwaha di simpang lima Boyolali. Kota Boyolali merupakan kota kecil yang memiliki beragam situs purbakala maupun situs jaman kolonialisme.
Water Toren, Pipa air, PLTA, Eks Coffiefabriek van Tjepogo dan Eks Pabrik di Tampir merupakan bangunan cagar budaya yang hilang ditelan jaman. Akan tetapi, menghidupi masyarakat sekitarnya dalam tahun-tahun kejayaan kompeni di pulau Jawa. Sama persis dengan kalimat KGPAA Mangkunegoro VI selaku pemilik Eks Suikerfabriek van Tjolomadoe Karanganyar yakni “Sanajan Ora Nyugihi Nanging Nguripi” atau “Meskipun Tidak Membuat Kaya Tetapi Menghidupi” dirasa cocok untuk mengabadikan beberapa cagar budaya yang telah hilang meskipun sejak berlangsungnya penajahan.
Kopi merupakan komoditas utama selain rempah-rempah yang didapat dari hasil panen warga pribumi Boyolali, karena pada masa penjajahan pertanian, perairan dan perkebunan dikuasai seluruhnya oleh kompeni dan masyarakat pemilik lahan wajib bertani dan hasil panen berupa hasil bumi wajib diserahkan kepada kompeni sebagai pajak.
Sumber
Bapak Yun Sudarmasto. Warga Boyolali kota umur 54 tahun.
Bapak Wagiman. Warga Mliwis Cepogo umur 55 tahun.
Pakde Asmo. Warga Boyolali kota umur 67 tahun.
Dan Terimasih penulis ucapkan kepada keramahan seluruh warga Tjepogo Bojolali.
Menurut peta kitlv tidak ada jalur rel menuju pabrik teh dan kopi di pasar Cepogo
BalasHapusSetasiun tampir itu dimana bang ...
BalasHapus