Jembatan Merah sebagai Jantung Utama Kota Tua Surabaya.
Yang Tersisa
dari Mahakarya Kolonalisme kawasan "Rodeburg".
Jejak
Pluralisme Masyarakat di Surabaya Utara.
Awal abad ke
18 Surabaya menjadi pusat perniagaan terbesar kedua setelah
Batavia, adanya pelabuhan utama disusul dengan Jalan Raya Daendels atau De Groote Postweg juga keberadaan Kalimas
yang berfungsi sebagi jalur utama perdagangan dan transportasi.
Tidaklah mengherankan apabila sepanjang kalimas atau yang
lebih dikenal sebagai kota lama surabaya banyak kita temukan kantor ekspedisi
serta bangunan sarana prasarana lain bagi masyarakat Eropa dan Tionghoa. Selain
masyarakat Eropa dan Oosterling, di
sini juga terdapat komunitas Yahudi dan Bumiputera yang hidup berdampingan
dengan damai, ini terlihat jelas dengan adanya kompleks pemakaman yang letaknya
saling terkait dan berdekatan.
Kedatangan para pengelana Eropa dan Timur Asing ini selain berhubungan erat dengan rempah-rempah, sebagian dari mereka merupakan pelarian dari tempat asal mereka. Dalam perkembangannya, pendanaan kongsi dagang VOC
sebagian dibantu oleh orang-orang Yahudi. Kerjasama ini pada akhirnya melahirkan
satu perkumpulan yang berfungsi untuk menyebarkan paham persaudaraan tanpa
melihat perbedaan suku, ras, agama, dan negara. Perkumpulan ini dikenal sebagai
perkumpulan Freemasonry. Sebagai sarana pendukung, maka didirikanlah gedung untuk
sarana berkumpul anggota perkumpulan. Gedung/ logde/ loji ini masih bisa kita
temukan dan saat ini berstatus cagar budaya pemerintah kota.
Coat of Arm Soerabaja 1930.
Menurut J. Saphir, keberadaan masyarakat Eropa dan Yahudi di Surabaya pada tahun 1822 berada di kawasan
Jalan Kayon dan Jembatan Merah. Penempatan ini berdasarkan adanya aturan regeringreglement yang diberlakukan. Salah satu buktinya, di Surabaya kita
bisa menemukan banyak sekali peninggalan dari berbagai bangsa, baik Eropa, Tionghoa, Arab bahkan Yahudi. Akhirnya berdasar data diatas mulailah perjalanan dari Surakarta dengan waktu tempuh 3,5-4 jam
perjalanan menggunakan kereta api menuju Surabaya. Tujuan utama adalah Rodeburg atau Jembatan Merah dan sekitarnya, demi mempelajari peninggalan kolonialisme yang ada disana seperti apa yang akan dikaji berikut ini.
Kotak merah besar adalah
keberadaan Gedung Singa dan kantor
ekspedisi lainya, sedangkan kotak merah kecil adalah Jembatan Merah atau Rodeburg dalam Kaart van Soerabaia 1866.
Source: Maps Universiteit Leiden.
Napak Tilas “Rodeburg” Soerabaja.
Lokasi pertama yang dikunjungi adalah “ Gedung Singa”, Jembatan
Merah terutama kawasan sepanjang Kalimas atau Willemskadestraat.
Tampak gedung “Algemeene Maatschappij
van Levenverzekering en Lijfrente” berdiri berdampingan dengan beberapa gedung perdagangan lainnya. Gedung ini dirancang oleh
Hendrik Petrus Berlage
(1856-1934) seorang arsitek lulusan Delft Belanda. Pengambilan gambar dari tengah jembatan merah saat ini. Source: Collectie Tropenmuseum.
Kondisi Gedung Singa Jembatan Merah Surabaya saat ini, pada bagian depan gedung terdapat mozaik karya Jan Toorop-seorang seniman kelahiran Purworejo Jawa Tengah. Mozaik
ini berisi tentang kisah mengenai kondisi Mesir Kuno dan pentingnya menjaga jiwa dan raga untuk menghadapi masa depan yang tidak menentu.
Dijalan yang sama kita akan temukan bangunan-bangunan cagar budaya dalam kondisi rusak ringan hingga rusak parah.
Untung saja sisi selatan gedung singa masih banyak yang terawatt bahkan masih digunakan.
Fasade depan gedung “Algemeene Maatschappij van Levenverzekering en Lijfrente” berdasarkan inkripsi pada bagian samping gedung, dan pada bagian atas juga memiliki mozaik
layaknya Gedung Singa, hanya saja
didesain oleh P.A.J Moojen.
Adanya bandar / pelabuhan untuk kapal kecil di Kalimas menyebabkannya menjadi jantung perekonomian masyarakat
di Surabaya utara.Pelabuhan ini menjadi lokasi masuknya kapal-kapal jung kecil
yang akan memasuki kota. Kapal jung kecil ini berfungsi sebagai kapal angkut
dari pelabuhan besar menuju pelabuhan-pelabuhan kecil di dalam kota, selain itu
juga berfungsi lain sebagai kapal angkutan dan bahkan kapal perang. Ketika pelaut Portugis mencapai perairan Asia, mereka mendapati perairan Jawa
dipenuhi oleh kapal-kapal jung Jawa. Kapal-kapal tersebut merupakan kapal
dagang milik orang Jawa untuk menyusur jalur rempah yang cukup vital seperti
Maluku, Jawa, dan Malaka. Saat itu cukup banyak saudagar dan nahkoda kapal yang
sekaligus menjadi pengendali perdagangan internasional. Namun akhir abad ke 17,
kapal-kapal itu tidak lagi digunakan untuk perdagangan jarak jauh dan hanya
digunakan untuk aktifitas masyarakat sekitar saja. Hingga akhirnya VerenigingOost-Indie Company brdiri dan dibangunlah Galangan Kapal VOC di Batavia.
Menara Syahbandar Kalimas Soerabaija. Pada bagian fasad depan terihat adanya logo “Ikan dan Buaya” di sisi kiri dan “Pedang” di sisi kanan. Pertanda bahwa Surabaya merupakan salah satu kota pelabuhan terbesar di Asia Tenggara.
Salah satu rumah dengan konsep shophouse di Jalan Gula. Sepanjang jalan ini memiliki konstruksi rumah yang mirip satu sama lain.
Kondisi salah satu rumah bergaya khas Indische
Empire Style di sekitaran pabrik limoen belakang sungai kalimas.
Kalimas sebagai jalur transportasi dan perdagangan
membawa dampak terhadap masyarakat yang berada di sekitarnya, baik komunitas
Eropa, Tionghoa, maupun komunitas lokal Surabaya sendiri.
Pabriek Limoen J.C. van Drongelen & Hellfach, merupakan
pabrik limun pertama di Surabaya yang berdiri tahun 1923. Pabrik limun
sejenis juga terdapat di beberapa kota lain. Di Pekalongan bernama “Limoen Oriental” dan Surakarta bernama “De Hoop”, sayangnya
pabrik Limun di Surakarta ini sudah lama berhenti beroperasi.
Karena keterbatasan waktu yang ada, perjalanan menyusuri
kota tua Surabaya bagian utara hanya bisa mengeksplorasi areal yang sangat
terbatas. Namun dari sini sebenarnya sudah terlihat jelas bagaimana Gemente Soerabaja berkembang sampai
tahap ini. Keberadaan bangunan-bangunan cagar budaya di seputaran Jembatan
Merah ini mendapat perhatian khusus baik dari pihak pemilik, pengguna,
pemerintah, dan masyarakat.
Kalau bukan kita,
siapa lagi yang akan peduli?. Dimulai dari hal paling sederhana, misalnya pendokumentasian
bangunan sebelum hilang atau berubah bentuk. Karena sebenarnya yang harus
dihilangkan dari kolonialisme adalah kesewenangan, pembodohan, serta
intmidasinya, bukan peninggalan fisiknya. Karena peninggalan fisik masa
kolonial adalah bukti perjalanan sebuah bangsa.
Referensi
Penulis ketika pertama kali menginjakan kaki di Surabaya, lokasi berada di Hotel Yamato didepan Loji de Vriendschap Tunjungan.
National Geographic Magazine Indonesia, 2013. Memecahkan Teka-Teki Mosaik Jan Toorop di Surabaya.